ASIATODAY.ID, BRUSSELS – Langkah Pemerintah Indonesia menghentikan ekspor nikel, membuat produsen baja di Eropa terpukul. Pasalnya, 55 persen dari bahan baku yang dibutuhkan pabrik baja anti-karat di Eropa bersumber dari bijih nikel Indonesia.
Dengan kondisi ini, Asosiasi Produsen Baja Eropa atau EUROFER mendukung langkah Komisi Uni Eropa (UE) menggugat pelarangan ekspor nikel itu ke World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia.
“Kami menyambut baik bahwa Uni Eropa telah memilih untuk mengambil tindakan melawan Indonesia di WTO, atas dasar pelanggaran terhadap aturan perdagangan,” terang Direktur Jenderal EUROFER, Axel Eggert, dalam keterangan pers di laman resmi mereka di Brussels, Belgia, dikutip Minggu (1/12/2019).
Sebelumnya, gugatan Uni Eropa ke Indonesia ini telah disampaikan oleh Wakil Tetap Indonesia untuk WTO, Duta Besar Hasan Kleib, di Jakarta, Kamis (28 /11/ 2019). Hasan mengatakan, Uni Eropa menyampaikan pemberitahuan ihwal gugatan kepada Duta Besar Indonesia di Jenewa, Swiss, enam hari sebelumnya, tepatnya 22 November 2019.
Gugatan dilayangkan karena Uni Eropa menilai kebijakan tersebut melanggar sejumlah ketentuan dalam The General Agreement of Tariffs and Trade (GATT), sebuah perjanjian pendahulu dari WTO. Salah satunya terkait pembatasan ekspor untuk produk mineral, khususnya nikel, bijih besi, dan kromium yang digunakan sebagai bahan baku industri stainless steel di Uni Eropa.
Keputusan pelarangan itu diambil pemerintah Indonesia, melalui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang mengumumkan larangan ekspor nikel per 1 Januari 2020. Bahlil juga bahkan beberapa kali mengumpulkan para pengusaha tambang nikel. Mereka pun sepakat, bijih nikel yang selama ini diekspor, akan diolah melalui smelter dalam negeri.
Axel Eggert memandang, Indonesia saat ini menjadi negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Sehingga, Indonesia kemudian bertahap melarang ekspor bijih nikel mereka hingga Januari 2020. Namun Eggert menilai, Indonesia sengaja menimbun cadangan nikel mereka untuk meningkatkan daya saing industri baja anti karat dalam negeri.
Sehingga, Indonesia yang dulunya tidak pernah mengekspor baja ke pasar Eropa pada 2017, kini menguasai hingga 18 persen pada kuartal kedua 2019.
“Mereka (Indonesia) memperolehnya dengan cara yang tidak adil,” kata Eggert.
Ia menegaskan bahwa saat ini ada 200 ribu pekerjaan langsung dan tidak langsung bagi masyarakat Eropa yang berkaitan dengan industri baja anti karat.
“Mereka tidak harus menanggung resiko karena adanya aktivitas yang tidak adil dari dari negara lain,” tandas Eggert. (ATN)
,’;\;\’\’
Discussion about this post