ASIATODAY.ID, JAKARTA – Bank sentral China, People’s Bank of China (PBOC), menyuntikkan 120 miliar yuan atau setara Rp266 triliun ke dalam sistem perbankan setelah adanya kekhawatiran terhadap ancaman gagal bayar Evergrande Group yang mengacaukan pasar global.
Sebagaimana dilaporkan Bloomberg pada Rabu (22/9/2021), pendanaan tersebut digulirkan melalui reverse repurchase agreements atau reverse repo yang menghasilkan suntikan bersih senilai 90 miliar yuan atau USD13,9 miliar.
Sentimen juga meningkat setelah unit properti onshore Evergrande mengatakan pihaknya berencana untuk membayar bunga obligasi dalam negeri yang jatuh tempo pada Kamis.
“Injeksi bersih PBOC mungkin bertujuan merelaksasi ketegangan di pasar akibat adanya kekhawatiran tentang Evergrande. Meski tujuannya untuk kedisiplinan, ada juga kebutuhan untuk mencegah penularan ke ekonomi riil atau ke sektor lain,” kata Eugene Leow, Ahli Strategi Suku Bunga Senior di DBS Bank Ltd. di Singapura.
Kebutuhan untuk menenangkan pasar semakin penting di tengah kerugian ekuitas yang berhubungan dengan China di seluruh dunia. Benchmark Indeks CSI 300 turun hingga 1,9 persen pada Rabu setelah Hang Seng China Enterprises Index mencatatkan rekor penurunan dalam dua bulan terakhir pada Senin.
Penurunan tetap terjadi meskipun analis Wall Street meyakinkan investor bahwa krisis Evergrande tidak akan sampai menjadi Lehman moment atau Lehman Brothers yang bangkrut pada 2008.
Unit properti dalam negeri Evergrande mengatakan pihaknya merundingkan rencana dengan pemegang obligasi dalam negeri untuk membayar bunga yang jatuh tempo pada 23 September. Perusahaan mengatakan akan melakukan pembayaran bunga untuk sekuritas 5,8 persen pada 2025. Jumlah yang harus dibayar untuk kupon itu adalah 232 juta yuan atau setara USD35,86 juta, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg.
Menurut seorang sumber anonim, hal tersebut disampaikan setelah Evergrande gagal membayarkan bunga yang jatuh tempo pada Senin kepada kreditur perbankan terbesarnya.
Sebelumnya, Evergrande dilaporkan bahwa pada minggu ini harus membayar bunga pinjaman yang jatuh tempo ke beberapa bank. Namun, bank-bank besar dikabarkan belum menerima pembayaran tersebut.
Pembayaran bunga dengan total lebih dari USD100 juta itu akan jatuh tempo pada akhir pekan ini untuk dua obligasi Evergrande. Perusahaan yang berbasis di Kota Shenzhen, China Selatan ini mempekerjakan sekitar 200.000 orang dan secara tidak langsung memberikan lebih dari 3,8 juta pekerjaan setiap tahun.
Dalam beberapa tahun terakhir, utang Evergrande menggelembung karena perusahaan ini meminjam uang untuk membiayai berbagai kegiatannya. Grup ini mendapatkan reputasi buruk karena menjadi developer di China yang paling memiliki utang besar, dengan kewajiban utang senilai lebih dari USD300 miliar.
Selama beberapa minggu terakhir, Evergrande memberi tahu investor tentang masalah arus kas dan perusahaan bisa gagal bayar jika tidak dapat mengumpulkan uang dengan cepat. Evergrande mengungkapkan dalam pengajuan bursa bahwa mereka mengalami kesulitan menemukan pembeli untuk beberapa asetnya.
Menurut para ahli, dalam beberapa hal ambisi, sikap agresif Evergrande yang membuatnya terjerumus. Direktur Unit Intelijen Ekonomi China, Mattie Bekink bilang Evergrande menyimpang jauh dari bisnis intinya.
Analis Goldman Sachs mengatakan, struktur Evergrande juga membuatnya sulit untuk memastikan gambaran yang lebih tepat tentang pemulihan Evergrande. Mengutip dari CNN, hal ini lantaran kompleksitas Evergrande Group dan kurangnya informasi yang memadai tentang aset dan kewajiban perusahaan.
Masalah serupa rupanya bukan hal baru, karena di 2020 banyak perusahaan asal China yang gagal membayar pinjaman. Hal ini meningkatkan kekhawatiran terkait ketergantungan perusahaan China pada investasi dengan berutang untuk mendukung pertumbuhan bisnisnya.
Kepala Ekonom Asia Capital Economics, Mark Williams mengatakan, anjloknya saham Evergrande akan menjadi ujian terbesar yang dihadapi sistem keuangan di China selama bertahun-tahun. Menurutnya, akar permasalahan dari Evergrande adalah permintaan properti dan hunian di China mengalami masa penurunan yang berkelanjutan.
Runtuhnya Evergrande telah membuat investor memusatkan perhatian pada dampak gelombang default pengembang properti terhadap pertumbuhan ekonomi China.
Evergrande masih belum bisa menemukan pembeli untuk saham bisnis kendaraan listrik dan layanan propertinya. Evergrande juga telah mencoba menjual aset menara kantornya di Hong Kong, yang dibeli dengan harga sekitar USD1,6 miliar pada 2015.
Sejumlah demonstran mendatangi kantor pusat Evergrande. Pemegang saham telah waspada selama berbulan-bulan, karena saham Evergrande merosot lebih dari 80% di tahun ini. Situasi ini juga berdampak pada investor di China secara lebih luas.
Indeks Hang Seng (HSI) pada Senin (20/9) turun 3,3%, penurunan terburuk dalam hampir dua bulan, karena bank-bank China, perusahaan asuransi dan perusahaan real estate lainnya terpukul.
Masalah keuangan Evergrande telah secara luas dijuluki oleh media China sebagai “lubang hitam besar”, yang menyiratkan bahwa tidak ada jumlah uang yang dapat menyelesaikan masalah tersebut.
“Kami pada akhirnya berharap bahwa pemerintah akan campur tangan dalam kasus Evergrande, karena mereka tidak akan membiarkan default perusahaan ini menyebar ke sistem perbankan. Dampak dari default besar oleh Evergrande akan luar biasa,” kata Bekink. (ATN)
Discussion about this post