ASIATODAY.ID, JAKARTA – Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Republik Indonesia, Fadli Zon menyerukan agar Indonesia segera meminta bantuan internasional dalam menangani pandemi Covid-19, terutama negara-negara yang terbukti sudah berhasil mengatasi pandemi.
Pasalnya, kondisi Indonesia saat ini kian darurat dan tidak mampu lagi ditangani oleh pemerintah.
“Pemerintah Indonesia harus bersikap realistis menghadapi gelombang baru Covid-19. Infrastruktur kesehatan, logistik, serta jumlah tenaga kesehatan sudah berada di ambang batas, sehingga tak akan sanggup lagi menghadapi situasi yang terus memburuk. Suka atau tidak suka, Indonesia harus segera meminta bantuan dunia internasional, terutama negara-negara yang terbukti sudah berhasil mengatasi pandemi. Ini merupakan persoalan kemanusiaan,” katanya, Jumat (09/07/2021).
Menurut Fadli, ada beberapa alasan mengapa Indonesia membutuhkan langkah luar biasa mengatasi gelombang baru Covid-19 ini.
Pertama, dalam dua pekan terakhir sudah terjadi berkali-kali rekor kasus baru Covid-19.
“Hanya tinggal soal waktu rekor itu akan segera menembus angka 40 ribuan, lalu 50 ribuan, jika kita tak segera mengambil langkah luar biasa,” ujarnya.
Kedua, kebijakan yang sudah diambil pemerintah belum memadai untuk memutus kedaruratan. Meski berjudul Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dan diterapkan di wilayah Jawa-Bali, kebijakan ini tak bisa dianggap luar biasa.
Menurut Fadli, dalam praktiknya di lapangan, kebijakan ini belum bisa membatasi kegiatan masyarakat. Disisi lain, sebagian masyarakat merasa perlu mencari nafkah harian untuk kebutuhan hidup sehari-hari karena pemerintah tidak memberi kompensasi atas pembatasan ini.
“Hingga hari ini Pemerintah masih saja membuka pintu bandara dan pelabuhan. TKA asing dari China masih bisa melenggang masuk. Keadaan ini membuat sebagian masyarakat merasa didiskriminasi,” imbuhnya.
Ketiga, kemampuan infrastruktur kesehatan Indonesia sudah di ambang batas. Menurut data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), saat ini okupansi tempat tidur di berbagai rumah sakit di Jakarta, Banten, Yogyakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah sudah mencapai 100 persen.
Fadli mengungkapkan bahwa berdasarkan laporan PERSI jumlah kasus aktif telah meningkat di 28 provinsi. Tabung oksigen dan oksigennya sendiri menjadi langka dan tak memenuhi kebutuhan mereka yang membutuhkan.
“Terjadi panic buying untuk sejumlah obat, vitamin bahkan susu,” jelasnya.
Wabah saat ini memang masih berpusat di Pulau Jawa, namun lonjakan kenaikan kasus dan lonjakan okupansi ruangan di rumah sakit juga terjadi di luar Jawa, seperti Kalimantan Barat, Lampung dan Kepulauan Riau.
“Jika kasus ini terus meningkat, krisis bukan hanya akan terjadi di rumah sakit-rumah sakit di Jawa, tapi juga di berbagai provinsi lain di luar Jawa,” tegasnya.
Anggota Komisi I DPR RI itu menambahkan, merujuk data Lapor Covid-19 pekan lalu tercatat ada 265 kematian di luar rumah sakit pada saat orang-orang mengisolasi diri di rumah, atau mengantri untuk mendapatkan tempat tidur darurat.
“Data ini bisa memberikan gambaran bagaimana infrastruktur kesehatan di Indonesia sudah tak lagi bisa melayani pasien-pasien baru yang terus bermunculan. Banyak mereka yang terpapar tak bisa ke rumah sakit karena penuh dan terpaksa isolasi mandiri tanpa pengawasan dokter atau tenaga medis,” terangnya.
Keempat, adalah krisis tenaga kesehatan. Fadli menyebut, sejak awal pandemi, jumlah dokter yang meninggal akibat Covid-19 di Indonesia telah melebihi angka 400 orang. Bila digabungkan dengan tenaga kesehatan lain seperti perawat, jumlah kematian nakes sudah menembus angka seribu orang.
Para dokter dan tenaga kesehatan lainnya adalah pejuang dengan perlengkapan terbatas.
“Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), tingkat kematian tenaga kesehatan di Indonesia berada di urutan ketiga tertinggi di dunia, bahkan menjadi yang tertinggi di Asia. Jika krisis ini terus memburuk, kita mungkin masih bisa membuka rumah sakit darurat, namun tenaga kesehatan tidak bisa disediakan secara instan,” tuturnya.
Kelima, adalah krisis ketersediaan vaksin. Hingga kini, jumlah penduduk Indonesia yang telah menerima vaksin sekitar kurang dari 5 persen. Meski pada 30 Juni lalu pemerintah mengumumkan telah menerima 118,7 juta dosis vaksin Sinovac dan AstraZeneca, namun jumlah ini jauh dari cukup untuk memvaksinasi 181,5 juta orang atau 70 persen dari populasi.
Sebagai perbandingan kata Fadli, Kanada memiliki 338 juta dosis vaksin, atau 5 kali dari jumlah populasi mereka. Inggris, memiliki jumlah vaksin 3,6 kali jumlah populasi, dan Amerika Serikat memiliki dosis vaksin 2 kali lipat jumlah populasinya.
Menurutnya, dengan tingkat ketersediaan vaksin yang rendah, serta laju vaksinasi yang juga lambat tanpa langkah luar biasa, Indonesia tidak akan bisa menghadapi tsunami Covid-19. Terlebih, angka-angka yang sejauh ini diumumkan pemerintah diyakini tidak mewakili kondisi lapangan sebenarnya. Kata dia, ada banyak kasus tidak dilaporkan dan tidak bisa ditangani oleh pemerintah.
“Dengan alasan-alasan tadi, pemerintah harus segera mengambil langkah luar biasa dan meminta bantuan dunia internasional. Kibarkan bendera putih dan buka tangan lebar menerima bantuan dari negara-negara sahabat apalagi yang sudah berhasil mengatasi pandemi. Kita sangat membutuhkan intervensi global untuk meredam jumlah korban lebih banyak,” tuturnya.
Beberapa langkah lain yang harus segera dilakukan pemerintah adalah segera menutup sementara gerbang lalu lintas internasional, terlebih untuk TKA yang tidak esensial. Kemudian, batasi mobilitas dan penerbangan domestik hanya untuk keperluan logistik dan kesehatan.
“Saya usulkan agar Presiden langsung yang memimpin situasi darurat ini sehingga semua kementerian dan lembaga fokus menghadapi darurat pandemi bersama-sama. Koordinasi di satu komando kendali dari pusat hingga daerah. Penanganan Covid-19 di negara kita tidak akan berhasil selama para pejabat pelaksananya bekerja rangkap jabatan,” jelasnya.
“Tanpa keputusan luar biasa, kita akan membuat krisis ini menjadi semakin panjang dan lama dengan korban rakyat semakin banyak termasuk berdampak parah pada situasi ekonomi dan sosial,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post