ASIATODAY.ID, PEKANBARU – Organisasi perlindungan satwa World Wildlife Foundation (WWF) Indonesia menyatakan delapan kantong gajah yang menjadi habitat asli bagi gajah sumatera (elephas maximus sumatranus) kondisinya kini kritis dan kian memprihatinkan. Dikhawatirkan terjadi kepunahan lokal karena perubahan bentang alam, yang membuat konflik dengan manusia makin sering terjadi.
“Kantong gajah sudah banyak beralih fungsi, yang berbentuk hutan makin sedikit, karena menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Hal inilah yang membuat konflik gajah dengan manusia tidak bisa dihindari dan makin sering terjadi,” kata Humas WWF Program Riau, Syamsidar, Sabtu (20/72019).
Dikatakan, alih fungsi hutan di kantong gajah juga kian mengancam kelestarian satwa dilindungi itu. Berdasarkan survey WWF, populasi gajah di sejumlah kantong tinggal segelintir dan berpeluang terjadi kepunahan lokal (local extinction).
Seperti di kantong gajah Rokan Hilir, kata dia, berdasarkan survey tinggal satu individu tersisa, begitu juga di kantong Batang Ulak. Kemudian di kantong Mahato-Barumun tinggal tiga individu dan kantong gajah Balai Raja hanya lima individu.
“Seperti di Mahato itu tiga individu yang tersisa semuanya betina, tidak ada peluang reproduksi lagi dan bisa terjadi apa yang disebut local extinction,” jelasnya.
Namun, katanya, populasi gajah sumatera masih cukup banyak di kantong gajah Giam Siak Kecil yang mencapai 50-60 individu. Kemudian di kantong Tesso Nilo Utara 30-38 ekor dan Tesso Nilo Tenggara 50-60 ekor.
Hanya saja, kata dia, kondisi kantong Tesso Nilo juga memprihatinkan sehingga rawan terjadi konflik dengan manusia.
Dibutuhkan upaya kolaborasi untuk menghindari atau minimal menekan konflik gajah dengan manusia. Pemegang izin konsesi perkebunan dan kehutanan yang berada di area kantong gajah perlu menerapkan manajemen perlindungan terhadap satwa itu.
“Konflik gajah dengan manusia akan terus terjadi karena kantong gajah makin sempit,” kata Syamsidar.
Bentang Seblat Habitat Terakhir Gajah
Bentang Seblat yang berada di wilayah perbatasan antara Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Mukomuko merupakan rumah atau habitat terakhir populasi satwa langka gajah Sumatra (Elephas maximus Sumatrae) di wilayah Provinsi Bengkulu.
“Kawasan bentang alam Seblat ini menjadi satu-satunya kantong populasi terakhir gajah untuk wilayah Bengkulu,” kata Sekretaris Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) Donny Gunaryadi di Bengkulu, Jumat (19/7/2019).
Saat konsultasi publik dokumen Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Gajah di Bengkulu, ia menyebutkan penyelamatan Bentang Seblat menjadi prasyarat untuk pelestarian gajah Sumatera di Bengkulu.
Menurut dia bentang Bukit Balai Rejang Selatan juga tercatat sebagai habitat gajah namun keberadaan satwa terancam punah itu tidak ditemukan lagi di wilayah tersebut.
“Jadi satu-satunya kantong populasi gajah Sumatera di Bengkulu ada di bentang Seblat sehingga penyelamatan habitat ini menjadi kunci,” imbuhnya.
Menurut Donny ada tiga penyebab utama kepunahan gajah Sumatera yaitu kehilangan habitat, perburuan untuk mengambil bagian tubuh gajah serta konflik dengan manusia.
Sementara Sekretaris Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) koridor gajah, Ali Akbar mengatakan pihaknya telah menyusun rencana aksi penyelamatan gajah di Bengkulu lewat program penyelamatan habitat berupa koridor gajah di kawasan Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara dan Mukomuko.
Pembentukan koridor gajah juga dinilai sangat penting, mengingat hampir 80 persen wilayah jelajah gajah berada di luar kawasan konservasi.
Menurut Ali pembangunan koridor gajah dilaksanakan secara partisipatif dan lintas sektoral mulai dari pemangku kawasan, warga, lembaga swadaya masyarakat dan pihak swasta.
Kawasan ekosistem esensial koridor yang diusulkan dalam KEE bentang alam Seblat mencakup hutan produksi Air Rami, hutan produksi terbatas Lebong Kandis, taman wisata alam Seblat dan sebagian konsesi IUPHK dan HGU perkebunan kelapa sawit.
Sementara Kepala Desa Gajah Makmur, Gutomo mengatakan konflik gajah di sekitar desa mereka yang berbatasan dengan Hutan Produksi Air Rami itu masih terjadi minimal sekali setahun.
“Kami belum tahu apakah memang setiap tahun gajah melintas di jalur itu tapi saat ini juga ada sekira empat ekor gajah memasuki kebun warga desa,” jelasnya.
Gutomo berharap lewat pembentukan koridor gajah di bentang Seblat dapat mengatasi konflik antara gajah dengan warga pemilik kebun di wilayah itu. (Lis/AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post