ASIATODAY.ID, JAKARTA – Klaim China di Perairan Laut Natuna disertai hadirnya kapal-kapal China yang menginvasi laut Natuna, membuat pemerintah Indonesia mulai mengubah pandangan tentang China.
Padahal, China selama ini dianggap mitra strategis, namun dengan pelanggaran kedaulatan Indonesia, membuat Presiden Jokowi harus mengambil langkah taktis.
Presiden Joko widodo mengajak pelaku usaha di Jepang berinvestasi di Natuna, Kepulauan Riau. Upaya ini disebut bisa menjadi sinyal diplomasi Indonesia terhadap China.
“Upaya Presiden Jokowi ini memberikan semacam keseimbangan untuk sinyal kepada China, bahwa Indonesia tidak bisa didikte oleh Tiongkok,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan di kawasan Menteng, Jakarta Minggu (12/01/2020).
Tak hanya Jepang, namun investasi besar di Indonesia juga mengalir dari Amerika Serikat (AS) melalui International Development Finance Corporation (IDFC) yang menyatakan tertarik mengucurkan investasi pengelolaan dana abadi. Jumlah dana investasi tersebut mencapai miliaran dolar AS.
Menurut Djayadi, situasi ini menunjukkan Indonesia ingin keluar dari bayang-bayang China. “Karena Indonesia memiliki kawan yang juga menjadi kekuatan besar dunia seperti AS dan Jepang,” paparnya.
Djayadi menilai strategi Presiden Jokowi untuk memperkuat diplomasi Indonesia sangat cerdas. Langkah menggandeng AS dan Jepang diyakini bisa mengurangi tekanan China dalam kisruh Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di perairan Natuna.
“Jadi dengan mengajak mereka investasi di Natuna, itu satu sinyal kepada China agar tak melakukan intimidasi di Natuna,” paparnya.
Menurut dia, kehadiran investasi besar dari Jepang dan AS di kawasan Natuna bakal menegaskan kedaulatan Indonesia yang diusik China. Diplomasi Indonesia pun akan semakin kuat menghadapi klaim sepihak di Laut Natuna Utara.
Jepang Referensi Indonesia
Djayadi memandang Jepang masih jadi negara teratas dalam persepsi referensi pembangunan di Indonesia. Jepang mengungguli Amerika Serikat (AS), China, dan Singapura.
“Menurut masyarakat, negara Jepang belum tergoyahkan sebagai negara yang paling layak dijadikan model pembangunan, baik untuk Asia maupun untuk Indonesia,” jelasnya.
Ia mengatakan 23 persen responden menilai Jepang punya andil dalam membaiknya perekonomian Indonesia maupun Asia. Sebanyak 18 persen responden menganggap AS yang berjasa. Sedangkan, 13 persen yang memilih China, dan 11 persen responden memilih Singapura.
Sedangkan, sebanyak 27 persen responden menilai Jepang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan kinerja Presiden Joko Widodo. 14 persen memilih AS, China 12 persen, dan Singapura 13 persen.
“Sentimen masyarakat kita lebih negatif kepada China dibandingkan AS dan Jepang, dan menariknya Singapura berada di keempat contoh pembangunan selama 10 tahun terakhir,” urainya.
Negeri Sakura juga jadi teratas pilihan responden terkait negara yang cocok dijadikan contoh pembangunan. Penilaian ini didasari faktor-faktor demografi maupun partisipasi masyarakat.
“Secara umum masyarakat cenderung melihat Jepang sebagai negara yang pantas dijadikan contoh pembangunan,” ujarnya.
Survei LSI ini dilakukan berkolaborasi dengan Asian-Barometer pada 10-15 Juli 2019. Survei melibatkan 1.540 responden dengan metode stratified multistage random sampling dengan margin of error 2,5 persen. Tingkat kepercayaan riset ini sebesar 95 persen dengan asumsi sampel random sampling. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post