ASIATODAY.ID, JAKARTA – Penyakit korupsi di Indonesia berdampak buruk terhadap kepercayaan investor global.
Pemerintah mencatat, persepsi terhadap korupsi di Indonesia masih sangat tinggi. Indonesia berada diurutan 85 dari 180 negara paling dianggap korupsi.
Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, fakta ini tidak hanya mempengaruhi kinerja investasi tetapi menjadi hambatan bagi investor untuk menanamkan modalnya di indonesia.
Apalagi, persepsi korupsi paling sering terjadi di sektor perizinan. Di mana, masih ada oknum dari pemerintah daerah yang masih bermain-main saat para pengusaha mengajukan izin berinvestasi.
“Indeks persepsi korupsi di negara kita masih tinggi. Pengusaha itu, kalau izinnya masih baik tanpa harus menggunakan cara yang tidak baik itu mereka lebih senang, talu kalau izinnya ditahan-tahan, dikompromikan, terpaksa pengusaha itu ada banyak caranya, tapi saya pikir sudah harus kita hentikan cara ini,” jelasnya, Selasa (8/9/2020).
Di sisi lainnya, persepsi korupsi juga berpengaruh pada Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia. ICOR Indonesia berada di angka 6,6 atau kalah dari Thailand yang ada di angka 4,4, Malaysia 4,5, Vietnam 4,6 dan Filipina 3,7.
ICOR sendiri merupakan rasio efisiensi investasi. ICOR merupakan kebutuhan investasi terhadap peningkatan 1 persen produk domestik bruto (PDB).
Bahlil memandang, untuk mendobrak persepsi negatif tersebut, Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law atau Cipta Kerja menjadi kunci dan solusinya.
UU ini akan mampu menghalau praktik korupsi yang kerap terjadi pada saat adanya ajuan perizinan dari investor.
“Korupsi tinggi itu juga terkait dengan izin-izin yang ada di daerah, ini bukan rahasia umum untuk kita, investasi terhambat juga karena izin yang tumpang tindih. Arogansi, ego sektoral beberapa kali saya sampaikan. Di dalam undang-undang ini sebenarnya izin-izin yang ada pada daerah dan kementerian dan lembaga (K/L) itu semua ditarik dulu ke Presiden,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post