ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia berpotensi menghadapi kiris energi di masa depan.
Pasalnya, kebutuhan energi minyak dan gas (migas) yang makin meningkat tidak diimbangi dengan produksi yang mencukupi
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan produksi migas 2019 sebesar 1.697 ribu barel setara minyak per hari (mboepd) dari target 2.025 mboepd.
“Kebutuhan migas Indonesia saat ini masih harus dibantu oleh impor baik dalam dalam bentuk minyak mentah, LPG dan bensin, meskipun impor bensin relatif menurun,” jelas Djoko dalam forum diskusi virtual APMI, Kamis (12/11/2020).
Djoko mengatakan pada data tahun lalu, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar nabati (BBN) sebesar 64,4 MTOE atau 47 persen dari total konsumsi energi nasional. Bila dijabarkan, untuk bensin rasio impornya menurun 20 persen.
Kemudian kebutuhan LPG Tanah Air mencapai 9,1 metrik ton oil equivalen (MTOE) atau 6,7 persen dari total konsumsi energi nasional. Sementara produksi LPG di dalam negeri sekitar dua ribu ton. Sedangkan impornya mencapai hampir enam ribu ton.
Di tahun lalu, ketergantungan impor LPG terhadap produksi naik menjadi 291 persen. LPG bukanlah dalam bentuk gas yang berada di dalam tabung, namun dalam bentuk gas minyak yang dicairkan.
“Kalau impor bensin, impor LPG itu terus meningkat, ini tanda-tanda daripada berpotensi terjadinya krisis energi dari jenis komoditas, apalagi belum ditemukannya cadangan dan sumber daya migas baru yang signifikan,” kata Djoko.
Dikatakan, impor minyak mentah juga masih cukup tinggi terutama yang bergantung pada negara timur tengah. Selain itu, cadangan penyangga energi pun belum diperkuat oleh regulasi dari pemerintah.
Djoko mengatakan regulasi tersebut belum diteken oleh Presiden Jokowi. Menurut dirinya regulasi ini penting untuk dikeluarkan untuk mengantisipasi potensi krisis energi.
“Regulasi bertujuan untuk mengakomodir cadangan penyangga energi dan cadangan operasional sebagai solusi ketika terjadinya energi,” jelas mantan Dirjen Migas ini.
Djoko memandang, dibutuhkan substitusi penggunaan bahan bakar fosil dengan mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) serta mengendalikan permintaan energi fosil dengan menggunakan kendaraan listrik dan kompor listrik serta EBT lainnya.
Untuk mendorong tercapainya target peningkatan produksi minyak satu juta barel per hari (bph), maka kegiatan hulu migas harus dijalankan out of the box atau keluar dari business as usual. Artinya tidak hanya mengandalkan kegiatan rutin, namun juga harus ada upaya ekstra untuk mencapainya misalnya dengan memasifkan kegiatan eksplorasi.
Indonesia harusnya tidak kesulitan kata Djoko karena Indonesia memiliki dana eksplorasi sebesar USD2,5 miliar yang berasal dari komitmen kerja pasti (KKP) yang bisa digunakan untuk mendorong kegiatan eksplorasi.
“Harus bergerak lebih cepat dengan menggunakan teknologi yang tersedia, ” imbuhnya. (ATN)
Discussion about this post