ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia melalui Biofarma, dipercaya oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai penerima transfer teknologi vaksin mRNA.
Kepercayaan terhadap Indonesia itu diumumkan oleh Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi usai menghadiri pertemuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait memperluas manufaktor perusahaan farmasi lokal, di Jenewa, pada 23 Februari 2022.
“Hari ini saya dengan bangga mengumumkan Indonesia dengan Biofarma, dipercaya sebagai penerima transfer teknologi vaksin mRna. Bio Farma adalah manufaktur vaksin terbesar di Asia Tenggara, dengan kapasitas produksi lebih dari 3,2 miliar dosis per tahun. Bio Farma memproduksi 14 tipe vaksin dan sudah mengekspornya ke lebih dari 150 negara,” kata Menlu Retno, dalam konferensi virtual yang diselenggarakan WHO.
“Kemampuan Indonesia untuk memanfaatkan teknologi mRNA bisa memenuhi kebutuhan di kawasan, terutama untuk vaksin yang berbasis mRNA serta pengembangan dan manufaktur obat terapi,” jelasnya.
Menlu Retno menegaskan, transfer teknologi ini sudah tentu berkontribusi pada akses setara untuk mengatasi virus selain juga untuk ‘Recover Together and Recover Stronger’ atau ‘Pulih Bersama, Pulih Lebih Kuat’.
Transfer teknologi ini menurut Menlu Retno adalah solusi yang dibutuhkan oleh para negara berkembang, solusi yang memberdayakan, solusi yang memperkuat kemandirian, solusi yang memungkinan kami berkontribusi pada ketahanan kesehatan global.
“Kerja sama semacam ini membutuhkan dukungan dari kita semua dan kami berharap kerja sama ini bisa mempersempit ketidaksetaraan vaksin,” imbuhnya.
“Waktu kita sempit, itu sebabnya upaya mengakhiri pandemi harus efektif agar hasil dari kolaborasi kita bisa tak terbatas. Bersama kita perlihatkan bahwa multilateralisme membuahkan hasil dan membawa keuntungan bagi rakyat kita. Recover Together, Recover Stronger,” ucapnya.
Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus pada Juni 2021 mengumumkan “Keputusan kami untuk mendirikan Pusat Transfer Teknologi mRNA di Afrika Selatan adalah hasil kemitraan antara WHO, Afrigen Biologics, Institut Biologi dan Vaksin Afrika Selatan, atau Biovac, Dewan Penelitian Medis Afrika Selatan , Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika, dan Kelompok Paten Obat – dan dengan dukungan kuat dari Belgia, Kanada, Prancis, Jerman, Norwegia, Uni Eropa, dan Uni Afrika.
“Tujuan dari hub ini adalah untuk menyediakan fasilitas di mana produsen dari negara berpenghasilan rendah dan menengah dapat menerima pelatihan tentang cara memproduksi vaksin tertentu, dan lisensi untuk melakukannya,” tegas Tedros.
“Kami percaya mRNA Technology Transfer Hub memiliki janji besar, tidak hanya untuk meningkatkan akses ke vaksin melawan covid-19, tetapi juga untuk penyakit lain termasuk malaria, tuberkulosis, dan kanker,” ujarnya.
“Saya merasa terhormat mendapat kesempatan mengunjungi Hub dua minggu lalu. Dan itu sudah membuahkan hasil, dengan pengumuman Afrigen bahwa mereka telah memproduksi kandidat vaksin mRNA sendiri,”
Memproduksi vaksin mRNA menimbulkan beberapa hambatan bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk biayanya, dan fakta bahwa mereka memerlukan pendingin yang sulit dan mahal untuk diterapkan. Hal ini juga membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan terlatih yang membuat semuanya aman.
Sebagai referensi, Vaksin mRNA selama ini dikenal tidak menggunakan virus atau kuman yang dilemahkan atau dimatikan, melainkan komponen materi genetik yang direkayasa agar menyerupai kuman atau virus tertentu. Vaksin jenis ini dapat memicu reaksi kekebalan tubuh layaknya virus dan kuman yang dilemahkan pada vaksin biasa.
Jenis vaksin ini kini terus dikembangkan untuk melawan virus korona guna memicu respons kekebalan tubuh untuk melawan penyakit covid-19. (ATN)
Discussion about this post