ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia sudah harus mulai mewaspadai armada laut China di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Menurut Gubernur Lambaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto, saat ini ada sebuah strategi China yang sama seperti Jepang saat menyiapkan Perang Dunia II, sehingga Indonesia harus bersiap diri menghadapi kemungkinan terburuk.
Andi mengungkapkan hal itu saat berbicara dalam kapasitas sebagai ahli dari pemerintah di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) di MK, terkait komponen cadangan (Komcad), di mana Andi menilai China sedang menyiapkan langkah perang untuk menguasai Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
“Yang saya contohkan ini adalah yang disampaikan oleh Presiden Jokowi tentang karakter perang masa depan (future war) yang akan kita hadapi menuju 2045 dan karakternya sudah berbeda, sudah berbeda dari tahun 1980‐an, dari awal tahun 2000‐an. Ini adalah eskalasi tertinggi yang mungkin harus kita antisipasi,” tutur Andi.
Senada dengan Andi, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengingatkan pemerintah agar senantiasa waspada dengan keberadaan armada laut China dalam beberapa dekade di perairan Indonesia.
Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa, mengatakan keberadaan armada laut China juga sering kali terlihat saat kapal-kapal nelayan China mengeksploitasi hasil laut di luar wilayah mereka.
“Di Indonesia sendiri, Coast Guard 6305 China, pernah berani mengganggu aktivitas eksplorasi minyak maupun gas di Natuna dan armada laut China juga terlihat ada disekitar kapal-kapal nelayan mereka saat mengeksploitasi hasil laut kita di sana,” kata AB Solissa, Jumat (25/2/2022).
Tindakan ini kemungkinan dilakukan China karena sampai detik ini China belum mengakui UNCLOS 1982, sehingga mereka mengklaim punya hak untuk mengelola sumber daya alam di perairan Natuna Utara yang bersinggungan dengan ZEE Indonesia atau negara manapun, berdasarkan sembilan garis putus-putus (Nine Dash Line).
Bukan hanya di Indonesia, kehadiran armada China dapat ditemukan di perairan lepas pantai Asia Selatan, Amerika Selatan, dan Afrika, di luar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara mana pun di dunia ini.
“Mungkin di mata Beijing, lautan adalah milik mereka untuk diambil. Sayangnya, belum ada kekuatan terorganisir dunia yang dapat mencegah mereka mengeksploitasi sumber daya laut dunia,” terang AB Solissa.
Dari informasi yang diterima CENTRIS, kapal pukat China berukuran industri telah masuk tanpa izin di perairan Sierra Leone, sebuah negara miskin di Afrika yang terlalu kekurangan dana untuk melindungi perairan mereka yang berlimpah ikannya. Bahkan, nelayan di Sierra Leone mengatakan bahwa sekitar 40% izin industri lokal dimiliki oleh kapal China.
Di perairan Pakistan tepatnya kota pelabuhan Gwadar, protes besar-besaran meletus atas proyek pembangunan besar China-Pakistan yang akan membahayakan bisnis perikanan nelayan disana.
Di Argentina, ratusan kapal pukat China mematikan sistem yang melacak lokasi mereka untuk menjarah perairan setempat bahkan Armada China telah mendekati Pulau Galapagos yang terkenal di Ekuador, termasuk kawasan lindung Cagar Alam Laut Galapagos.
“Sikap dan pemikiran zero-sum China telah membawa konsekuensi tragis bagi ekosistem. Laut lepas seharusnya menjadi milik dunia, namun Beijing mengubahnya menjadi alam liar untuk dijarah,” jelas AB Solissa.
Saat ini, angkatan laut pimpinan Xi Jinping ini memiliki 355 kapal dan kapal selam, termasuk 145 kapal perang permukaan.
Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) memperkirakan jumlah armada laut China akan terus bertambah menjadi 460 kapal pada 2030. Dalam laporan tahunan bertajuk Military And Cecurity Developments Involving People’s Republic of China 2021 untuk Kongres AS, turut dibeberkan kehadiran Angkatan Bersenjata China yang makin kuat di kancah global.
China juga memiliki People’s Armed Forces Maritime Militias (PAFMM) atau milisi maritim. PAFMM merupakan warga sipil yang siap dimobilisasi untuk menjadi prajurit tempur. Salah satu isu yang diangkat dalam laporan itu adalah soal konflik di Laut China Selatan, yang bersinggungan dengan wilayah Perairan Natuna.
China sebelumnya pernah menyodorkan sembilan garis putus-putus atau nine dash line untuk mengeklaim kepemilikan atas wilayah di Laut China Selatan. Namun, Indonesia bersama Malaysia, Filipina, dan Vietnam menolak klaim itu.
Indonesia menentang nine dash line itu dengan menggunakan hukum internasional untuk mendukung kedaulatan wilayah lautnya.
“Strategi China ini mirip Jepang pada masa penjajahan tempo dulu. Negara-negara di dunia khususnya Indonesia tentu harus waspada,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post