ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia berpotensi besar sebagai pemain rumput laut dunia jika didukung oleh kebijakan yang holistik dari hulu hingga hilir.
Pada tahun 2021, ekspor rumput laut Indonesia menempati peringkat 1 dunia dengan volume ekspor mencapai lebih dari 225 ribu ton atau lebih dari 30% terhadap total volume ekspor rumput laut dunia.
Namun secara nilai, Indonesia menempati urutan kedua setelah China, dengan nilai mencapai USD345 Juta atau setara dengan Rp5 triliun.
“Tercatat 196 negara di dunia menjadi pengimpor komoditas ini. Tentu ini menunjukkan betapa pentingnya produk rumput laut dalam perdagangan internasional,” ujar Ishartini, Kepala Biro Perencanaan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia, melalui keterangan tertulisnya, Minggu (9/10/2022).
Menurut Ishartini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memungkinkan rumput laut bisa diolah menjadi beragam produk bernilai tambah yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Secara garis besar, produk turunan rumput laut dapat dikelompokkan menjadi 5P, yakni Pangan, Pakan, Pupuk, Produk Kosmetik, dan Produk Farmasi.
“Sejumlah penelitian juga menyebutkan bahwa rumput laut dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan bahan bakar atau biofuel, sehingga dapat menjadi salah satu alternatif solusi krisis energi yang banyak dikhawatirkan di masa datang,” jelasnya.
Saat berbicara dalam forum webinar bertajuk “Diversifikasi dan Pengembangan Produk Rumput Laut”, beberapa waktu lalu, Ishartini menyebut ratusan jenis rumput laut dapat tumbuh dengan baik di wilayah Indonesia.
Saat ini, masyarakat mulai mengembangkan produk turunan rumput laut seperti manisan, agar-agar, dodol, mie, minuman, stik sebagai produk pangan.
Industri rumput laut juga mulai mengembangkan inovasi dengan pemanfaatan di berbagai bidang seperti food, health, pharmaceuticals, sustainable materials, cosmetics, biostimulant, dan fertilizer.
Selain itu, penggunaan produk turunan rumput laut juga dikembangkan sebagai hydrocolloid seperti karaginan, agar, dan alginate, juga umum digunakan untuk bahan pembantu dalam pembuatan berbagai produk industri baik pangan (es krim, roti, susu, sosis, edible film pada buah-buahan, minuman instan, dsb) maupun nonpangan (cat, tekstil, farmasi, kosmetik, dan sebagainya).
Ishartini menegaskan integrasi hulu-hilir menjadi kunci optimalisasi “emas hijau” laut Indonesia ini. Terlebih saat ini, masih terdapat perbedaan antara data produksi rumput laut di bagian hulu dengan kebutuhan bahan baku di industri hilir, sehingga perlu dilakukan perbaikan kualitas pendataan disemua lini. Selain itu, kualitas bahan baku yang dihasilkan oleh pembudidaya masih banyak yang belum memenuhi standar/ spesifikasi untuk diolah.
Faktor lain yang juga penting, sinergi dan kerjasama dari berbagai pihak seperti akademisi, bisnis/pelaku usaha, komunitas, pemerintah, dan media atau yang dikenal dengan konsep pentahelix.
Diseminasi dan sosialisasi berbagai produk rumput laut yang banyak dihasilkan dari penelitian perguruan tinggi, industri maupun lembaga lainnya perlu dilakukan sehingga dapat diaplikasikan secara komersial.
“Perlu dilakukan market intelligence untuk mengetahui jenis produk rumput laut yang dibutuhkan, baik untuk kebutuhan pasar internasional maupun domestik. Permintaan dunia terhadap bahan baku rumput dan produk turunannya sangat tinggi. Di sisi lain, terjadi persaingan ketat untuk perolehan bahan baku antara eksportir rumput laut kering dengan para processor (industri pengolahan) di dalam negeri. Oleh karena itu, data dan informasi market intelligence ini juga dapat menjadi referensi kebijakan untuk mengatur pemasaran rumput laut,” jelas Ishartini.
Ishartini berharap industri pengolahan rumput laut di Indonesia bisa lebih tumbuh. Dengan begitu, Indonesia bisa meningkatkan ekspor produk rumput laut yang bernilai tambah. (ATN)
Discussion about this post