ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia terus mewaspadai risiko tekanan geopolitik Rusia-Ukraina dan dinamika kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) yang menjadi tantangan bagi kinerja pemulihan ekonomi nasional.
“Di kuartal ini, dari sisi domestik kita lihat ada pengetatan dalam berbagai kebijakan yang terkait pandemi seperti kenaikan level PPKM di berbagai daerah terutama yang menjadi pusat perekonomian. Di sisi internasional, kita lihat ada perubahan geopolitik yang cukup pesat dan signifikan dengan adanya perang antara Ukraina dan Rusia. Ini tentu saja akan berdampak pada perekonomian nasional,” kata Yose Rizal Damuri, ekonom sekaligus Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Yose menjelaskan tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina dapat menguntungkan bagi Indonesia, terutama dari sisi perpajakan. Hal ini disebabkan oleh windfall profit atau keuntungan tiba-tiba dari kenaikan harga-harga komoditas akibat situasi tersebut.
“Namun, kebanyakan memang mendapatkan dampak yang tidak terlalu baik. Misalnya, sektor transportasi di mana harga energi juga tentunya akan meningkat, begitu juga dengan sektor-sektor energinya itu sendiri. Lalu juga mungkin beberapa beberapa di sektor makanan yang disebabkan karena semakin ketatnya supply yang ada,” ujar Yose.
Untuk menghadapi kondisi tersebut, diperlukan strategi dan langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam meredam dampak dinamika global.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan perlu ada transformasi struktur ekonomi dari yang selama ini didominasi konsumsi rumah tangga yang sebesar 56 persen dari total PDB dialihkan pada sektor yang lebih produktif untuk mendorong investasi dan ekspor.
“Investasi yang masuk diharapkan dapat membuka banyak lapangan kerja baru yang akan berkontribusi mengurangi pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Implementasi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan UU Perpajakan menjadi salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan daya tarik investasi dan penciptaan iklim usaha yang lebih baik dalam meningkatkan daya saing Indonesia,” kata Arsjad.
Kebijakan untuk menjaga stabilitas harga, terutama pangan dan energi, serta kesiapan transformasi digital dan inovasi untuck masa depan sangat diperlukan dalam jangka pendek untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Peluang Indonesia
Eskalasi geopolitik Rusia – Ukraina dan dinamika kebijakan moneter Amerika Serikat, dinilai menghadirkan peluang di tengah tantangan.
Plt. Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Abdurrohman mengatakan, kenaikan harga energi membawa efek positif bagi neraca perdagangan Indonesia karena menggerek beberapa komoditas utama seperti batu bara, nikel, dan tembaga.
“Sebenernya harga komoditas sudah mulai meningkat di 2021 lalu. Kemudian diamplifikasi oleh konflik Rusia-Ukraina. Ini yang sangat tergantung dari skenario seberapa panjang konflik akan terjadi. Jadi kalau konfliknya berlangsung lama, itu pengaruhnya juga akan panjang ke komoditas kita,” ungkap Abdurrohman.
Neraca perdagangan Indonesia konsisten mencatatkan surplus 22 bulan beruntun, mencapai USD3,83 miliar pada Februari 2022. Peningkatan ekspor mendorong terjadinya surplus tersebut.
Ekspor di bulan Februari 2022 tercatat tumbuh 34,14% (yoy), didukung oleh kenaikan ekspor nonmigas unggulan serta sektor manufaktur yang masih tumbuh kuat. Sedangkan impor tumbuh 25,43% (yoy), didominasi oleh jenis barang input (bahan baku dan barang modal) yang mencerminkan berlanjutnya penguatan aktivitas produksi.
Sementara itu, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan berpendapat sama.
Menurutnya, fenomena commodity supercycle yang terjadi tahun lalu belum akan mereda dan harga-harga komoditas global diprediksi masih tetap akan tinggi.
“Nilai ekspor Indonesia untuk produk CPO dan turunannya serta produk-produk pertambangan (batu bara, timah, nikel, dan tembaga) diproyeksikan akan mengalami peningkatan pada kuartal II-2022,” ungkap Kasan.
Kasan menilai terdapat peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspornya dengan adanya sanksi ekonomi negara-negara barat kepada Rusia. Sebagai contoh, AS telah menjatuhkan sanksi berupa larangan impor untuk komoditi migas dan batu bara dari Rusia. Larangan impor tersebut diperluas lagi ke beberapa sektor lainnya seperti sektor perikanan, minuman beralkohol dan perhiasan.
Hal tersebut menurut Kasan tentu menjadi peluang bagi Indonesia untuk dapat mengisi pasar AS khususnya untuk produk-produk perikanan (HS 03) yang nilai impormya dari Rusia di tahun 2021 mencapai USD1,2 miliar. Sementara untuk data impor AS dari Indonesia untuk produk perikanan di tahun lalu mencapai USD1,4 miliar.
“Di tengah berkurangnya pasokan di pasar AS akibat sanksi ekonomi tersebut, Indonesia tentu memiliki peluang untuk mengisi kebutuhan dan meningkatkan pangsa pasar di AS,” pungkas Kasan. (ATN)
Discussion about this post