ASIATODAY.ID, JAKARTA – Tsunami akibat erupsi Gunung Api Bawah Laut Tonga di Polinesia, Samudra Pasifik, terdeteksi di wilayah Indonesia meskipun skalanya kecil dan tidak memicu kerusakan, dengan ketinggian amplitudo gelombang sejengkal (maksimum 40 cm).
Tsunami tersebut terdeteksi oleh Inexpensive Device for Sea Level Measurement (IDSL) atau Perangkat Ukur Murah untuk Muka Air Laut (PUMMA) yang dipasang di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa dan pantai barat Pulau Sumatera.
”PUMMA dilengkapi dengan sistem peringatan otomatis saat terjadi anomali muka air dan berhasil mendeteksi gelombang tsunami di Pelabuhan Perikanan Prigi (Jawa Timur) pada 15 Januari 2022 pukul 13.13 UTC (pukul 20.14 WIB) atau kurang dari 9 jam pasca letusan pulau gunung api di Tonga, persisnya 8 jam 47 menit,” jelas Semeidi Husrin, Peneliti Tsunami, Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dikutip Minggu (30/1/2022).
“Diperkirakan kecepatan dari shock waves ini mencapai kurang lebih 300 meter per detik artinya gelombang ini dapat mencapai Indonesia (8.000 km) dalam kurun waktu 7 jam. Hal ini lah yang menyebabkan gelombang tsunami pertama (meteo-tsunami) tercatat oleh PUMMA kurang dari 9 jam pasca letusan gunung api. Seiring waktu, beberapa tsunami yang biasa pun akhirnya tiba di Indonesia dan terdeteksi oleh PUMMA. Hal ini menjelaskan mengapa peringatan tsunami dikeluarkan hingga 36 kali oleh PUMMA,” lanjutnya.
Lebih jauh disampaikan Semeidi, gelombang tsunami yang terekam jaringan PUMMA di Indonesia ternyata bukanlah tsunami biasa yang selama ini dipahami oleh masyarakat awam maupun oleh sebagian kalangan saintis, terutama mereka yang tidak pernah belajar mengenai fenomena tsunami yang dibangkitkan oleh aktivitas gunung api.
Gelombang tsunami ini walaupun hanya memiliki ketinggian amplitudo sejengkal, namun dengan sangat jelas terdeteksi oleh perangkat PUMMA yang terpasang di Prigi Trenggalek yang telah mengirimkan sinyal ALERT sebanyak 36 kali secara otomatis pada peristiwa ini.
“Analisa lebih jauh memperlihatkan bahwa tsunami yang terekam PUMMA akibat letusan Pulau Gunung Api Tonga terdiri dari dua tipe gelombang tsunami yaitu ‘meteo-tsunami’ akibat adanya gelombang kejut (shockwave) dari letusan gunung api yang menjalar di atmosfer dan berinteraksi dengan permukaan laut dan tsunami ‘biasa’ yang menjalar dari sumbernya secara hidrodinamika akibat proses terganggunya muka air di lokasi letusan gunung api tersebut,” terangnya.
Lalu apa itu meteo-tsunami?
Istilah ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Namun baru dipopulerkan dalam 30 tahun terakhir seiring dengan banyaknya kejadian serupa di berbagai belahan dunia. Sama dengan istilah “tsunami” yang berasal dari Jepang, istilah ‘meteo-tsunami’ juga pertama kali dikemukakan oleh peneliti Jepang Nomitsu pada tahun 1935 karena berbagai persamaan dari karakteristik gelombang tersebut dengan tsunami hanya saja penyebabnya yang berbeda.
Tsunami selama ini selalu diasosiasikan dengan kejadian gelombang besar yang disebabkan oleh akitivitas geologi seperti gempabumi, gunung api dan longsoran bawah air yang mengganggu badan air sehingga terbentuk gelombang yang menjalar cepat di lautan dan mencapai daratan dengan tinggi gelombang yang jauh lebih tinggi serta merusak.
“Gangguan (tsunami) pada badan air ini juga bisa disebabkan oleh aspek di luar fenomena geologi seperti perubahan tekanan udara yang terjadi secara tiba-tiba (pressure jump). Perubahan tekanan yang terjadi secara tiba-tiba dapat mengakibatkan gangguan pada badan air dan membangkitkan gelombang tinggi yang dikenal sebagai meteo-tsunami. Meteo-tsunami memiliki karakteristik fisik yang sama persis dengan tsunami biasa yang disebabkan oleh aktivitas geologi,” ungkap Semeidi.
Di berbagi belahan dunia, meteo-tsunami dikenal dalam berbagai nama berbeda seperti Abiki di Jepang, Rissaga di Pulau Balearic Spanyol, dan Marrobbio di Sisilia Italia.
Dari berbagai kejadian meteo-tsunami, beberapa di antaranya bahkan cukup berbahaya dan menimbulkan korban jiwa seperti yang terjadi di Teluk Nagasaki pada 31 Maret 1979 yang menyebabkan 3 orang meninggal dengan ketinggian tsunami mencapai 4,8 meter dan di Teluk Persia (Dayyer, Iran) pada 19 Maret 2017 yang menyebabkan 5 orang meninggal dengan runup tsunami mencapai 3 meter.
IDSL/PUMMA telah terpasang di 8 lokasi yaitu Pulau Sebesi, Marina Jambu, Pangandaran, Pelabuhan Sadeng, Pelabuhan Prigi, Palabuhan Ratu, PPS Bungus, dan TPI Tua Pejat Mentawai.
IDSL merupakan hasil kerja sama antara Pusat Riset Kelautan BRSDMKP KKP dengan JRC the European Commission, Badan Informasi Geospatial (BIG), Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI) dan institusi-institusi lainnya di Indonesia. Data dan sistem peringatan IDSL sudah masuk ke jaringan BMKG sebagai otoritas peringatan dini tsunami di Indonesia.
“Beroperasinya IDSL selama tiga tahun dan keberhasilannya dalam mendeteksi tsunami Tonga serta kejadian-kejadian sebelumnya membuktikan kinerja yang sangat baik sebagai alternatif penguatan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia. Selain itu, IDSL juga memiliki kelebihan yaitu harga yang murah, mudah dibuat, mudah dipasang, murah dan mudah dalam perawatan, memanfaatkan jaringan infrastruktur eksisting, melibatkan masyarakat dan dapat diproduksi di Indonesia dan didukung secara internasional. Untuk saat ini, IDSL sebagian besar dipasang di fasilitas milik KKP dalam hal ini pelabuhan perikanan yang faktanya berada di garis terdepan dalam mendeteksi fenomena tsunami,” jelas Semeidi.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menegaskan bahwa KKP memiliki tanggung jawab dalam upaya mitigasi bencana, selain berurusan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K).
Berbagai upaya mitigasi bencana telah dilakukan oleh KKP, baik secara langsung maupun sebagai muatan dan pertimbangan dalam pelaksanaan kegiatan lainnya. (ATN)
Discussion about this post