ASIATODAY.ID, JAKARTA – Melalui Proyek Belt and Road Initiative (BRI), Indonesia dilaporkan memiliki utang tersembunyi (hidden debt) dari China.
Hal itu terungkap dalam sebuah riset yang dirilis oleh AidData, laboratorium penelitian pengembangan internasional yang berbasis di William & Mary’s Global Research Institute.
Laporan AidData yang bertajuk Banking on the Belt and Road disusun dengan menganalisis data yang mencakup 13.427 proyek di 165 negara senilai USD843 miliar. Proyek-proyek ini dibiayai oleh lebih dari 300 lembaga pemerintah dan badan-badan milik negara China.
Berdasarkan laporan AidData tersebut, di wilayah Asia Tenggara, sejumlah negara tercatat memiliki persentase utang tersembunyi yang sangat besar kepada China.
Indonesia memiliki utang gelap kepada China mencapai USD17,28 miliar atau setara Rp247,10 triliun. Angka ini setara dengan 1,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Menjawab laporan tersebut, Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan Republik Indonesia Bidang Komunikasi, Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa informasi tersebit kurang tepat apalagi jika dikaitkan dengan pemerintah.
“Agar jelas, saya klarifikasi sejak awal. Hidden debt versi AidData tak dimaksudkan sebagai utang yang tak dilaporkan atau disembunyikan, melainkan utang nonpemerintah tapi jika wanprestasi berisiko nyrempet pemerintah. Jadi di titik ini kita sepakat, ini bukan isu transparansi,” kata Yustinus dalam thread akun twitter pribadinya, yang dimonito Minggu (17/10/2021).
Dijelaskan, utang yang dihasilkan dari skema Business to Business (B-to-B) yang dilakukan dengan BUMN, bank milik negara, Special Purpose Vehicle, perusahaan patungan dan swasta.
Dia menegaskan, utang BUMN tidak tercatat sebagai utang pemerintah dan bukan bagian dari utang yang dikelola pemerintah.
“Demikian juga utang oleh perusahaan patungan dan swasta tidak masuk dalam wewenang pemerintah, sehingga jika pihak-pihak tersebut menerima pinjaman, maka pinjaman ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka. Meski demikian, tata kelola kita kredibel dan akuntabel,” paparnya.
Soal Penarikan Utang Luar Negeri (ULN) yang dilakukan oleh pemerintah, BUMN, dan swasta tercatat dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI).
SULNI disusun dan dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan secara clear dan transparan.
“Berdasarkan data SULNI per akhir Juli 2021, total ULN Indonesia dari China sebesar USD21,12 miliar, terdiri dari utang yang dikelola pemerintah sebesar USD1,66 miliar (0,8% dari total ULN Pemerintah), serta utang BUMN dan swasta dengan total mencapai USD19,46 miliar,” kata dia merinci.
Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, tidak tepat jika terdapat ULN (termasuk pinjaman China) yang dikategorikan sebagai “hidden debt”.
Yustinus menegaskan, semua ULN yang masuk ke Indonesia tercatat dalam SULNI dan informasinya dapat diakses oleh publik, tak ada yang disembunyikan atau sembunyi-sembunyi.
“Terkait utang BUMN yang dijamin, utang ini dianggap kewajiban kontinjensi pemerintah. Kewajiban kontinjensi tersebut tidak akan menjadi beban yang harus dibayarkan pemerintah sepanjang mitigasi risiko default dijalankan. Ini yg terjadi saat ini: zero default atas jaminan pemerintah,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, kewajiban kontinjensi memiliki batasan maksimal penjaminan oleh pemerintah. Batas maksimal pemberian penjaminan baru terhadap proyek infrastruktur yang diusulkan memperoleh jaminan pada 2020-2024 sebesar 6% terhadap PDB 2024.
“Dengan tata kelola seperti ini, mitigasi risiko dilakukan sedini mungkin dan tidak akan menjadi beban pemerintah, apalagi beban yang tak terbayarkan. Jadi sekali lagi, tak perlu dikhawatirkan sepanjang dikaitkan dengan pemerintah. Mari terus semangat dan berkolaborasi untuk negeri,” tandasnya.
Pemerintah mengapresiasi siapa pun yang punya concern pada tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk utang.
“Mohon terus didukung dan dikritisi. Banyak pelajaran dari negara lain bisa dipetik, kita tingkatkan kewaspadaan dan tetap optimis. Salam Indonesia!,” pungkasnya. (ATN)
Discussion about this post