ASIATODAY.ID, JAKARTA – Industri nikel di Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) mendapat sorotan tajam.
Pasalnya, Morowali yang menjadi basis hilirisasi industri nikel di Indonesia belum mampu memberikan konstribusi fiskal yang signifikan bagi daerah itu.
Dilain pihak, masyarakat justru harus menjadi korban akibat dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan nikel.
Pertumbuhan pesat industri nikel di bagian hulu dimotori oleh puluhan perusahaan swasta pemegang izin usaha pertambangan (IUP), yang mampu menambang puluhan juta ton biji nikel setiap tahun di Morowali.
Sementara di bagian hilir, pertumbuhan tersebut digerakkan oleh investasi asing seperti PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali dan Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali Utara (Morut).
Menurut Wakil Ketua DPRD Sulteng, H. Muharram Nurdin, berdasarkan data yang ada, pada tahun 2020, nilai ekspor besi dan baja Sulawesi Tengah yang dihasilkan dari industri nikel di Morowali mencapai USD6,4 miliar atau sekitar Rp90 triliun.
Nilai ekspor tersebut menempatkan Sulawesi Tengah sebagai penyumbang 60 persen dari total nilai ekspor besi dan baja Indonesia pada tahun 2020.
Capaian ekspor itu kata dia, tidak berbanding lurus dengan pendapatan daerah.
Pada tahun 2020, Pemerintah Provinsi (Pemprov) hanya memperoleh penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari royalti dan sewa tanah (land rent) hanya sekitar Rp89 miliar. Sementara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Morowali dan Morowali Utara (Morut) sebagai daerah penghasil memperoleh masing-masing sekitar Rp145 miliar dan sekitar Rp37 miliar PNBP royalti dan sewa tanah.
“Padahal kita ketahui sebagai daerah penghasil, dampak lingkungan hidup dari kegiatan industri ekstraktif tersebut secara langsung dirasakan oleh warga di daerah ini. Pemprov dan Pemkab juga yang pada akhirnya menangani berbagai ekses yang ditimbulkan dari industri pertambangan tersebut,” jelas Muharram dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Kamis (3/2/2022).
Muharram memandang, harus ada perubahan dalam tata kelola industri tersebut. Pemprov Sulteng perlu memberikan perhatian yang sungguh-sungguh agar pertumbuhan industri pertambangan nikel memberikan sumbangan fiskal yang signifikan bagi daerah.
Menurutnya, terdapat sejumlah langkah mendesak yang harus segera dilakukan.
Pertama, Kementerian ESDM harus segera menertibkan kembali IUP-IUP bermasalah karena diterbitkan melalui prosedur yang salah di masa lalu, termasuk penindakan tegas terhadap praktik-praktik penambangan nikel yang berlangsung secara illegal atau tanpa dokumen-dokumen penambangan yang sah.
Karena praktik seperti ini merugikan Negara, di mana pemerintah berpotensi kehilangan penerimaan Negara baik penerimaan pajak mapun PNBP.
Kedua, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau Perseroan Daerah (Perseroda) harus terlibat aktif dalam seluruh ekosistem bisnis nikel di Morowali.
Pemprov perlu berkoordinasi dengan Kementerian ESDM untuk melakukan tindakan-tindakan afirmatif dengan memprioritaskan BUMD/Perseroda untuk memperoleh IUP nikel.
“IUP-IUP bermasalah harus dicabut dan memberikannya kepada BUMD/Perseroda. Hanya dengan cara ini pemerintah daerah dapat memperoleh manfaat fiskal yang besar dari kehadiran industri penambangan nikel di Morowali,” imbuh Muharram.
Ketiga, Pemprov perlu mematok target besar tetapi terukur nilai penerimaan daerah setiap tahun yang disumbangkan oleh BUMD/Perseroda di sektor pertambangan nikel. Syaratnya BUMD/Perseroda harus dikelola secara profesional bisnis, transparan, dan memiliki akuntabilitas yang tinggi.
“Saya percaya, dengan cara ini rakyat Sulawesi Tengah bisa menikmati kekayaan alamnya sebagaimana diamanatkan UUD 45 bahwa bumi dan air dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat,“ tandasnya. (AT Network)
Discussion about this post