ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pabrik baterai pertama berbasis nikel di Asia Tenggara akan segera dibangun di Indonesia. Pabrik ini akan berdiri di Karawang, Jawa Barat.
Indonesia dan Korea Selatan telah sepakat bekerjasama untuk pengembangan potensi mineral nikel ini melalui LG dan BUMN dengan total nilai investasi USD9,8 miliar atau setara Rp142 triliun.
“Pabrik baterai ini akan memiliki kapasitas 10 giga watt. Investasi pembangunan pabrik tahap pertama ini senilai USD1,2 miliar. Pengolahan baterai sel ketot dan perkusor akan dilakukan di Batang. Baru selanjutnya dibangun smelter. Groundbreakingnya akan dilakukan oleh Presiden RI pada 15 September 2021 nanti,” kata Menteri Investasi/Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), Bahlil Lahadalia melalui keterangan tertulisnya yang dikutip Selasa (14/9/2021).
Untuk investasi tahap ke 2 yakni SIAT dengan nilai Rp72 triliun yang kemungkinan besar dikerjasamakan dengan Taiwan atau Eropa.
Bahlil mengungkapkan langkah Indonesia ini sangat menjanjikan karena didukung dengan kekayaan mineral nikel yang melimpah.
Pasalnya, Indonesia menggenggam 25 persen cadangan nikel dunia dan nikel menjadi bahan baku utama baterai mobil listrik.
“Indonesia dikaruniai mineral penting dunia bernama nikel, dimana 25 persen cadangannya berada di Indonesia. Mineral penting ini jadi bahan baku bagi pengembangan mobil listrik dunia, yang ke depan akan menjadi bagian kehidupan moderen manusia,” ujar Bahlil.
Saat ini, dunia tengah berubah menuju kehidupan lebih sehat dengan mulai meninggalkan bahan bakar fosil. Pengembangan industri mobil ramah lingkungan, khususnya berdaya listrik, tidak bisa lagi dibendung dan akan menggeser keberadaan mobil berbasis BBM.
“Bisa dipastikan pada 2030-an benua Amerika, Eropa, Timur Tengah dan Asia akan menjadi pasar utama mobil listrik dunia dimana era itu ditaksir memiliki porsi 70 persen dari total jumlah kendaraan yang ada. Indonesia pada era itu diprediksi memiliki 6 juta unit mobil listrik. Sekitar 85 persen komponen mobil listrik terlait baterai berbahan baku utama nikel, cobalt dan mangan yang kesemuanya ada di Indonesia,” urainya.
Bahlil menerangkan, Indonesia memiliki aneka kekayaan SDA namun negara belum pernah memanfaatkan secara maksimal menciptakan nilai tambah, sehingga posisinya tidak sebagai pemain utama.
Pada komoditas kayu, potensinya dikuras secara masif tapi Idonesia tidak pernah masuk pada 10 besar negara produsen meubel dunia. Begitu juga emas. Justru Freeport-McMoRan Inc dan Newmont Corporation yang memanfaatkan.
“Indonesia ke depan harus menjadi pemain utama energi baru di dunia. Sekitar 80 persen komponen bahan baku bateri mobil listrik, seperti nikel, kobalt dan mangan, ada di Indonesia. Yang kita tidak punya yakni lithium, dan itu bisa impor dari Australia,” ungkapnya.
Kini pemerintah telah menghentikan ekspor nikel, sebab akan dikembangkan nilai tambahnya sebagai bahan baku baterai.
“Biarkan mereka berkompetisi, agar mereka tahu bahwa Indonesia bukan hanya sekedar potensi wisata seperti Bali, namun juga negara pemasok baterai listrik terbesar dunia,” pungkas Bahlil. (ATN)
Discussion about this post