ASIATODAY.ID, JAKARTA – Keputusan Presiden Joko Widodo untuk menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung kerjasama Indonesia dan China, memantik reaksi dari Jepang .
Pasalnya, berdasarkan kesepakatan awal antara kedua pemerintah, disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan dibebani dengan beban keuangan.
Tetapi kurangnya penelitian bisnis sebelumnya mengungkapkan bahwa biaya melebihi harapan, memaksa perubahan kebijakan. Pemerintahan Jokowi juga memasukkan pinjaman pemerintah sebagai opsi.
Pada awal September, presiden Perkeretaapian Nasional Indonesia mengatakan dalam kesaksian di parlemen, “Bisnis kereta api berkecepatan tinggi adalah USD1,9 miliar.
Profesor Homare Endo, Direktur, Global Research Institute on Chinese Issues, Profesor Emeritus, Universitas Tsukuba, mengungkapkan analisanya mengenai perubahan kebijakan indonesia.
“Indonesia menolak Jepang dengan mengajukan syarat yang tidak mengharuskan pemerintah Indonesia menanggung beban keuangan atau utang penjaminan untuk pembangunan rel kecepatan tinggi. Ini adalah kondisi yang sulit dipahami oleh pemerintah Jepang, tetapi China memiliki strategi jangka panjang yang diperhitungkan dengan baik,” ujarnya sebagaimana dilaporkan Nikkei, pada (13/10/2021).
Menurut Profesor Endo sulit untuk memahami bahwa proyek tersebut dilakukan dalam bentuk proyek filantropi di mana beban keuangan negara mitra nol dan tidak diperlukan jaminan utang. Tapi China berbeda. Dia menawarkan kondisi yang tidak terpikirkan bahwa tidak akan ada pengeluaran oleh pemerintah Indonesia dan tidak ada jaminan utang.
“Jika itu benar-benar terjadi, tidak ada negara yang tidak bisa bergerak lebih jauh. Pemerintah Jepang menyesalkan bahwa hal itu “sulit dipahami”, tetapi strategi diplomatik China “diperhitungkan”. Pertama, pada 20 Oktober 2014, ketika Joko Widodo, menjadi presiden,” jelasnya.
Segera setelah menjabat, Presiden Joko Widodo mengumumkan pada 4 November 2014, bahwa ia akan “meninjau prioritas pembangunan infrastruktur untuk memprioritaskan pembangunan pelabuhan dan pengembangan lahan” sebagai bagian dari “konsep negara maritim.”
“Hal ini persis sama dengan inisiatif AIIB (Bank Investasi Infrastruktur Asia) dan Belt and Road (Jalan Sutra Darat dan Laut) yang ditetapkan oleh pemerintahan Xi Jinping. Jokowi menghadiri Pertemuan Puncak APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) yang diadakan di Beijing pada 9 November 2014, dan mengadakan pertemuan puncak. Presiden Joko Widodo langsung mengumumkan keikutsertaannya dalam AIIB. China adalah mitra dagang terbesar Indonesia,” ungkapnya.
Presiden Joko Widodo juga menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama dengan Belt and Road Initiative. Pada 10 November, Presiden Joko juga bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Abe untuk menjanjikan kerja sama maritim, dan mengunjungi Jepang pada 22 Maret 2015 untuk membahas kerja sama ekonomi dan kerja sama keamanan, tetapi Xi Jinping menanggapi lain.
“Presiden Xi menandatangani kerja sama untuk proyek kereta cepat Indonesia. Pada akhir Maret 2015, Presiden Joko Widodo diundang ke Beijing untuk melakukan pertukaran “Memorandum Kerjasama (Kerjasama) Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung China-Indonesia” dengan Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional China dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara Indonesia.”
Selanjutnya, pada 22 April 2015, Presiden Xi Jinping sendiri berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Kali ini, Presiden Xi membahas dan bahkan menandatangani proyek kereta cepat Indonesia. Kedua belah pihak pertama-tama menyepakati prinsip-prinsip dasar berikut:
– Pihak China menginginkan lebih banyak perusahaan China yang berbakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan pengoperasian infrastruktur Indonesia.
-Pihak Indonesia berharap dapat bekerja sama dengan China di setiap bidang, dan terutama dengan kesempatan untuk menggabungkan konsep “Jalan Sutra Maritim Abad 21” China dengan strategi pembangunan baru di Indonesia, pihak China akan membangun infrastruktur Indonesia.
“Menanggapi kedua niat tersebut, China telah menjanjikan dan menandatangani investasi USD6 miliar di Indonesia,” paparnya lagi.
Mengenai isi yang disepakati, Deputi Direktur Perencanaan dan Pembangunan Indonesia, mengatakan dalam laporan media pada hari berikutnya: “Pemerintah Indonesia tidak berniat menggunakan pembiayaan keuangan pemerintah untuk mempromosikan proyek kereta api berkecepatan tinggi ini.
Badan Kerjasama Internasional Jepang memperkirakan total investasi dalam proyek ini adalah USD6 miliar. Jika profitabilitas proyek negatif, perusahaan swasta tidak dapat menghasilkan utang dengan sendirinya, maka idealnya BUMN Indonesia yang berinisiatif, BUMN memiliki 74% saham, pemerintah memiliki 16% saham, dan perusahaan swasta 10% saham.
“Harap perhatikan USD6 miliar ini,” tekan profesor Endo lagi.
Xi telah berjanji dan menandatangani pada bulan April bahwa dia akan menginvestasikan USD6 miliar ini dalam proyek kereta api berkecepatan tinggi di Indonesia.
Setelah melakukan persiapan sejauh ini, pemerintah China mengajukan syarat bahwa “pemerintah Indonesia tidak memiliki beban keuangan. Tidak perlu menjamin utang dalam tawaran” kompetisi kereta cepat Jepang-China.
Ditambahkan pula dengan syarat sejumlah BUMN yang terkait dengan perkeretaapian di China dan BUMN di Indonesia akan bersama-sama membuat badan usaha baru.
“Wujud “BUMN Indonesia yang memimpin” pada pertemuan 22 April diwujudkan di titik pendaratan BUMN dan beberapa BUMN di China akan bersama-sama mendirikan perusahaan baru di Indonesia.”
Oleh karena itu, dalam “tawaran” kompetisi Jepang-China, China sudah memenuhi permintaan pemerintah Indonesia sejak 22 April sebelumnya. Hal itu dilakukan bukan dalam situasi persaingan dalam bentuk penawaran, melainkan dalam kunjungan tunggal Presiden Xi, papar Profesor Endo lebih lanjut.
Lobi China di Indonesia Terlalu Kuat
Anggota DPR RI, Fadli Zon turut merespon hal ini. Ia mengenang bagaimana China berhasil mengalahkan Jepang untuk menggarap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
“Saya masih ingat 6 tahun lalu, Jepang dikalahkan China untuk menggarap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung,” cuit Fadli melalaui akun Twitter pribadi @fadlizon Jumat (15/10/2021).
Padahal kala itu kata Fadli, studi kelayakan agar terciptanya proyek tersebut dibiayai penuh oleh Jepang.
“Padahal studi kelayakan dibiayai Jepang,” katanya.
Melihat hal tersebut, Fadli mengatakan bahwa lobi China di Indonesia, khususnya Jakarta terlalu kuat.
“Lobi China di Jakarta terlalu kuat, wajar kalau ada yang menilai kategorinya ‘antek’,” pungkasnya. (Nikkei/ATN)
Discussion about this post