ASIATODAY.ID, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja ekspor Indonesia pada September 2019 mencapai US$14,10 miliar atau turun 1,29% dibandingkan dengan Agustus 2019.
Penurunan ekspor September 2019 terjadi karena adanya penurunan ekspor migas dan nonmigas. Ekspor migas turun 5,17% menjadi US$0,83 miliar, sedangkan ekspor nonmigas turun 1,03% menjadi US$13,27 miliar.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, situasi global masih diliputi ketidakpastian dimana perang dagang masih berlangsung dan harga komoditas masih berfluktuasi.
“Ada beberapa komoditas yang mengalami peningkatan harga seperti nikel, perak, coklat, seng, timah, tembaga, aluminium, dan emas. Ini nanti akan mempengaruhi ke kinerja ekspor,” terangnya saat jumpa pers, Selasa (15/10/2019).
Di lain pihak juga ada komoditas yang turun seperti minyak sawit.
Adapun secara kumulatif dari Januari-September 2018, total ekspor mengalami penurunan 8,0% (yoy) dari Januari-September 2018. Adapun Agustus – September, ekspor tercatat US$124,17 miliar. Dia menyatakan, ekspor migas secara (mtm) turun 5,17%, sedangkansecara (yoy), turun 37,13%.
Jika dibandingkan dengan Agustus 2019, nilai ekspor pertanian turun 5,27% (mtm), dan secara (yoy) turun 12,14%. Sementara itu untuk industri, secara (mtm), turun 3.51% dan secara (yoy) turun 0,44%. Penurunan terjadi untuk komoditas ekspor logam dasar mulia, pakaian jadi dari tekstil, peralatan listrik, dan kendaraan bermotor roda empat.
Untuk industri pengolahan, ekspor secara (mtm) turun, 3,51%, dan secara (yoy) turun 0,44%. Untuk ekspor pertambangan dan lainnya cenderung naik menjadi 13,03% tetapi secara (yoy) masih mengalami penurunan sekitar 14,82%.
Jadi Perhatian
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan ada sejumlah faktor yang menjadi perhatian dan kemungkinan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal III/2019.
Faktor itu terutama datang dari kemampuan ekspor Indonesia. Selain itu, pemerintah juga masih melihat stimulan dari segi kebijakan investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut.
“Kita menganggap ada beberapa faktor yang masih jadi perhatian. Terutama dari sisi ekspor dan kita akan lihat apakah investasi juga bisa distimulasi dari berbagai kebijakan maupun dunia usaha,” jelasnya dalam sebuah acara di Depok, Sabtu (12/10/2019).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tumbuh 5,05 persen secara year-on-year (yoy) pada kuartal II/2019. Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh hampir semua lapangan usaha, di mana pertumbuhan tertinggi dicapai Lapangan Usaha Jasa Lainnya yang tumbuh 10,73 persen.
Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Lembaga Nonprofit yang Melayani Rumah Tangga (PK-LNPRT) yang meningkat sebesar 15,27 persen.
Sementara itu, berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku kuartal II/2019, perekonomian Indonesia mencapai Rp3.963,5 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 menyentuh Rp2. 735,2 triliun.
Sejumlah ekonom sebelumnya juga memprediksi neraca perdagangan September 2019 akan mencatatkan defisit akibat melemahnya permintaan dari China sebagai dampak perang dagang dan peraturan relaksasi impor barang modal dari Kementerian Perdagangan.
Menurut ekonom Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, kemungkinan neraca perdagangan September 2019 masih defisit karena perang dagang. Dia menilai, ada pelemahan pertumbuhan ekonomi China yang terlihat dari turunnya konsumsi dan permintaan ekspor dari Indonesia.
“Ada pertumbuhan ekonomi yang melambat di China, yang menyebabkan ada dampak ke permintaan terhadap komoditas,” ujar Enrico, Senin (14/10/2019).
Dia menilai, prediksi defisit itu masih cukup kecil, yakni di bawah US$100 juta. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post