ASIATODAY.ID, JAKARTA – Konflik Rusia-Ukraina menimbulkan dampak luas di dunia, terutama pada sektor ekonomi. Kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina, juga turut terkenan dampak.
Selain menyebabkan kenaikan harga komoditas secara eksponensial mengingat kedua negara yang bertikai adalah pengekspor utama bahan bakar fosil, biji-bijian, pupuk, dan logam, konflik tersebut juga menganggu pasokan komoditas.
Menurut catatan World Bank, pada tahun 2020, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengimpor 9,7 persen pupuk dari Rusia dan 9,2 persen bahan bubur (sereal) dari Ukraina.
Selain itu, konflik Rusia-Ukraina itu akan menyebabkan harga energi dan makanan global naik masing-masing sebesar 50 persen dan 20 persen pada tahun 2022. Sedangkan tingkat inflasi untuk ASEAN sebagai sebuah kelompok meningkat dari 3,1 persen pada tahun 2021 menjadi 4,7 persen pada tahun 2022.
Gangguan Target Perbaikan Iklim
Menurut Peneliti Utama dalam Program Perubahan Iklim di Asia Tenggara (ISEAS), Mirza Sadaqat Huda dari Yusof Ishak Institute, selain menghambat pertumbuhan ekonomi, krisis komoditas telah merusak target perbaikan iklim (climate ambitions) di Asia Tenggara.
Untuk mengurangi tekanan inflasi, misalnya, Filipina baru-baru ini menggandakan program subsidi bahan bakar untuk transportasi umum dan juga berencana meningkatkan penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik.
Sedangkan subsidi minyak Malaysia dapat mencapai lebih dari US$6 miliar tahun ini dan Indonesia telah menggenjot ekspor batu bara. Thailand dan Vietnam juga baru-baru ini meningkatkan subsidi bahan bakar fosil, ujar peneliti yang bernaung di bawah Lembaga ASEAN tersebut.
Pada satu sisi, target energi terbarukan ASEAN 23 persen pada tahun 2025 juga dipengaruhi oleh guncangan pasokan mineral yang dapat memungkinkan transisi ke energi hijau.
Pada sisi lain, karena sanksi ekonomi terhadap Moskow belum sepenuhnya berlaku, maka Rusia masih menjadi pengekspor nikel dan paladium terbesar di dunia.
“Nikel adalah komponen penting baterai yang menggerakkan kendaraan listrik, sedangkan paladium untuk memproduksi catalytic converter, bagian dari sistem pembutan mobil yang mengontrol emisi,” katanya.
Sebagai catatan, setelah sanksi Amerika Serikat dan Uni Eropa diberlakukan terhadap Rusia, harga nikel dan paladium masing-masing meningkat sebanyak 60 persen dan 25 persen. Hal itu menyebabkan kekhawatiran tentang kelayakan ekonomi yang bersumber dari teknologi energi terbarukan.
Adapun, Ukraina adalah pemasok gas neon terkemuka di dunia, yang digunakan untuk memproduksi semikonduktor komponen penting kendaraan listrik dan teknologi komunikasi.
Potensi Energi Terbarukan
Pada dasarnya, krisis komoditas seharusnya dapat digunakan oleh pembuat kebijakan di Asia Tenggara untuk mengampanyekan dekarbonisasi sebagai model pembangunan yang menarik secara ekonomi, terutama jika perang di Ukraina tetap berlarut-larut.
Dalam skenario bisnis seperti biasa, Asia Tenggara perlu meningkatkan impor minyaknya sebesar 65 persen di atas level saat ini pada tahun 2040, di mana guncangan pasokan yang setara akan memiliki dampak merugikan yang lebih besar daripada yang dirasakan saat ini.
“Outlook Energi Asia Tenggara 2022 menunjukkan bahwa pemanfaatan potensi energi terbarukan yang besar di kawasan ini dapat mengurangi ketergantungan impor yang diproyeksikan,” ujar Mirza seperti dikutip CNA, Selasa (19/7/2022).
Laporan Pusat Energi ASEAN mengusulkan kerja sama antara Malaysia, Thailand dan Vietnam dalam produksi panel surya dan perluasan kapasitas biofuel di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam.
Alasannya, jaringan transmisi listrik lintas batas, seperti Proyek Integrasi Listrik Laos-Thailand-Malaysia-Singapore (LTMS-PIP) yang baru-baru ini dijalankan, dapat mengurangi ketergantungan pada sumber energi ekstra-regional dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan.
LTMS-PIP juga merupakan langkah pertama menuju realisasi perdagangan energi multilateral sejati dalam Jaringan Tenaga Listrik ASEAN yang terintegrasi.
Mirza memandang, bahwa Integrasi regional pasokan energi terbarukan memerlukan dukungan lingkungan peraturan tegas dan keputusan kebijakan yang mendukung perdagangan multilateral. Karena itu, larangan Malaysia atas penjualan energi terbarukan ke Singapura pada tahun 2021 merupakan langkah mundur dalam hal ini.
“Untungnya, larangan tersebut tidak berlaku untuk impor listrik dari negara lain dan tidak akan mempengaruhi LTMS-PIP,”ujar akademisi itu.
Seperti yang ditunjukkan studi oleh para peneliti ISEAS, kegagalan negara-negara maju untuk memenuhi janji pendanaan untuk iklim telah merusak upaya mitigasi di wilayah tersebut.
Karena itu, krisis saat ini menawarkan kesempatan bagi negara-negara Asia Tenggara untuk menggunakan argumen geopolitik untuk meyakinkan negara-negara maju untuk mendanai proyek-proyek mitigasi skala besar.
Setelah invasi Rusia ke Ukraina, Uni Eropa telah berjanji untuk menghentikan impor bahan bakar fosil dari Ukraina sebelum tahun 2030 dan dalam hal ini Moskow dapat mengalihkan pasokan ke Asia.
Karena itu, dengan mendanai proyek energi terbarukan di Asia Tenggara dan di tempat lain, UE dan mitranya dapat menghambat pertumbuhan pengaruh ekonomi dan geopolitik Rusia.
Krisis komoditas saat ini memberi wawasan tentang pentingnya akses tanpa gangguan ke mineral. Kontrol mineral tersebut lebih terkonsentrasi pada bahan bakar fosil dan China berperan dominan dalam produksi dan pemurniannya.
Dominasi ini dapat digunakan untuk pengaruh geopolitik, seperti yang terjadi ketika China melarang ekspor logam langka ke Jepang menyusul konflik maritim pada tahun 2010. Akan tetapi, karena sengketa Laut China Selatan antara Beijing dan negara-negara Asia Tenggara tertentu terus memburuk, maka negara-negara di kawasan itu harus berkolaborasi dalam mengembangkan deposit domestik, yang dapat mencakup logam langga di Myanmar dan Vietnam, dan nikel di Filipina.
Meskipun wilayah ini memiliki cadangan mineral yang besar, investasi di bidang pertambangan telah menurun dalam beberapa tahun terakhir. Artinya, jika negara-negara Asia Tenggara dapat mengembangkan cadangan yang ada maka hal itu dapat memainkan peran kunci dalam mendiversifikasi rantai pasokan.
“Ada juga potensi untuk memperoleh pendapatan US$60 miliar pada tahun 2050,” kata Mirza.
Sejauh ini, negara-negara di Asia Tenggara menanggapi krisis komoditas dengan memprioritaskan target ekonomi jangka pendek dengan mengorbankan upaya dekarbonisasi jangka panjang. Akan tetapi, sekali lagi, krisis tampaknya memberikan kesempatan bagi para pemimpin regional untuk menata ulang orientasi dan kolaborasi masa depan menuju energi terbarukan dan mineral transisi energi.
Hal ini diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan dan perlindungan terhadap guncangan pasokan di masa depan. Apalagi dalam lingkungan global yang semakin tidak pasti dan terjadinya perubahan iklim.
Pada akhirnya, perang Rusia-Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda mereda sehingga Kawasan Asia Tenggara harus bersiap untuk setiap kemungkinan yang ada. (ATN)
Discussion about this post