ASIATODAY.ID, JAKARTA – Industri kertas di Indonesia kini tengah dibayangi ancaman krisis. Pasalnya, ketersediaan bahan baku industri kian menipis dan diramalkan akan terjadi kelangkaan pada akhir Maret sehingga harga tidak lagi kompetitif.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida, scrap kertas impor menopang sekitar 50 persen dari kebutuhan bahan baku pabrikan kertas. Namun demikian, asosiasi mencatat tidak ada pemesanan scrap kertas di pasar global oleh pabrikan lokal sejak awal 2020.
“Dengan tidak adanya impor scrap kertas, harga bahan baku lokal melonjak selangit sekarang. Kalau industri bahan baku kertas lokal sehat, utilitas akan di level 50 persen ppada akhir kuartal I/2020,” terang dia dalam keterangannya, Jumat (14/2/2020).
Sebelumnya, pemerintah telah menginstruksikan agar impuritas scrap kertas impor berada di level 2 persen. Namun demikian, ujar Liana, minimnya aturan tertulis mengenai instruksi tersebut membuat lembaga surveyor enggan memeriksa kontainer scrap kertas impor.
Liana memandang, harus ada revisi pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 92/2019 tentang Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri. Revisi tersebut paling lambat rampung sebelum akhir bulan ini lantaran proses impor skrap kertas membutuhkan waktu sekitar 3 bulan.
Sementara itu, Institute of Scrap Recycling Industries (ISRI) telah memilah kertas setidaknya menjadi empat jenis yakni kertas kardus bekas (OCC), majalah bekas (OMP), kertas putih bertulisan (SWL), dan kertas hasil rumah tangga (Mixed Paper).
Atas kategori tersebut, Liana mengatakan masing-masing jenis kertas memiliki ketentuan kadar impuritas yang berbeda.
ISRI menentukan kadar impuritas skrap kertas dihitung berdasarkan asal penggunaan skrap tersebut. Tingkat impuritas tertinggi dimiliki oleh kertas OMP (5 persen) yang dinilai kerap berasal dari lingkungan yang bersih, sedangkan impuritas terendah dimiliki kertas Mixed Paper (0,5–1 persen) karena berasal dari rumah tangga yang cenderung kotor.
“Kami sudah presentasi ke pemerintah, harus ada best practice, kami kan berdagang internasional. Paling tidak tingkat impuritas ikut dengan ketentuan ISRI dan jangan digeneralisasi semua jenis kertas,” jelasnya.
Liana menyatakan rendahnya ketersediaan bahan baku tersebut memaksa pabrikan menurunkan volume produksi sejak kuartal III/2019. Bahkan kini mulai marak produk kertas impor yang mulai memasuki pasar lokal.
Liana mengamati bahwa produk yang dimasuki oleh produk impor adalah kemasan kertas.
Berdasarkan catatan asosiasi, kemasan berbahan kertas berkontribusi sekitar 28 persen dari total kemasan yang beredar.
Presiden Jokowi pada Rabu (12/2/2020), memutuskan untuk melonggarkan ketentuan impor scrap baja yang juga diatur oleh Permendag No. 92/2019. Liana menyatakan pihaknya telah mengirimkan surat ke Sekretariat Negara (Sekneg) agar mendapatkan perlakuan yang sama. (ATN)
,’;\;\’\’
Discussion about this post