ASIATODAY.ID, JAKARTA – Krisis politik kini tengah melanda negeri Myanmar. Penetapan kondisi darurat oleh militer menjadi sorotan dunia mulai dari Amerika Serikat (AS), Australia, Inggris bahkan Indonesia.
Negara-negara tersebut mengungkapkan keprihatinan mendalam atas keadaan darurat militer dan penahanan para pejabat tinggi di Myanmar, yang menurut militer dilakukan sebagai tanggapan atas ‘kecurangan pemilu’. Pemimpin Tertinggi Myanmar Aung San Suu Kyi juga menjadi salah satu tokoh yang ditahan militer negara tersebut.
“Kami menyerukan kepada para pemimpin militer Burma (Myanmar) untuk membebaskan semua pejabat pemerintah dan pemimpin masyarakat sipil dan menghormati keinginan rakyat Burma seperti yang diungkapkan dalam pemilihan demokratis pada 8 November,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam sebuah pernyataan.
Gedung Putih mengatakan Presiden AS Joe Biden telah diberitahu tentang penahanan tersebut. “Amerika Serikat menentang setiap upaya untuk mengubah hasil pemilu baru-baru ini atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar dan akan mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggung jawab jika langkah-langkah ini tidak dibatalkan,” kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki.
Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne mengimbau militer Myanmar untuk menghormati supremasi hukum, menyelesaikan sengketa melalui mekanisme yang sah, dan segera membebaskan semua pemimpin sipil dan lainnya yang telah ditahan.
Sementara itu, Inggris menyatakan tengah memantau dengan cermat situasi di Myanmar yang disebut ‘sangat memprihatinkan’.
“Ini jelas merupakan situasi yang sangat mengkhawatirkan di Myanmar,” kata menteri kesehatan junior Helen Whately, menteri Inggris pertama yang muncul di media sejak berita kudeta Myanmar muncul.
Presiden Dewan Eropa Charles Michel pada Senin juga mengutuk perebutan kekuasaan militer di Myanmar dan menuntut agar militer membebaskan semua orang yang ditahan dalam penggerebekan di seluruh negeri.
“Hasil pemilu harus dihormati dan proses demokrasi perlu dipulihkan,” tulis Michel, yang mengepalai badan yang mewakili 27 pemimpin nasional Uni Eropa, di akun Twitter-nya.
Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Volkan Bozkir mengaku khawatir atas terjadinya kudeta yang dilakukan militer terhadap pemerintahan Myanmar. Kudeta dimulai dengan penahanan sejumlah tokoh penting, termasuk pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.
“Saya sangat khawatir atas perkembangan di Myanmar. Saya menyerukan agar para pemimpin politik yang ditahan segera dibebaskan,” tulis Bozkir via Twitter, dikutip Senin (1/2/2021).
“Para pemimpin militer harus mematuhi norma-norma demokratis dan menghormati institusi publik serta otoritas sipil,” ungkap Bozkir.
Masih dari kantor PBB, Sekretaris Jenderal Antonio Guterres mengecam keras penahanan yang dilakukan militer Myanmar terhadap Suu Kyi dan sejumlah pejabat lainnya.
“Perkembangan terkini merupakan pukulan telak terhadap reformasi demokrasi di Myanmar,” ungkap Guterres.
Ia menekankan kembali dukungan kuat PBB terhadap masyarakat Myanmar yang mendambakan penegakan nilai-nilai demokrasi, perdamaian, hak asasi manusia, dan aturan hukum.
Sementara itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), menyatakan keprihatinannya atas situasi politik yang memanas di Myanmar. Kemenlu meminta semua pihak di Myanmar untuk menahan diri.
“Indonesia sangat prihatin atas perkembangan politik terakhir di Myanmar,” demikian pernyataan resmi RI seperti diunggah Kemenlu di akun Twitter resminya, Senin (1/2/2021).
Pemerintah Indonesia pun mengimbau penggunaan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam ASEAN, di antaranya komitmen pada hukum, kepemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional. Indonesia juga berharap perselisihan terkait hasil pemilihan umum kiranya dapat diselesaikan dengan mekanisme hukum yang tersedia.
“Indonesia mendesak semua pihak di Myanmar untuk menahan diri dan mengedepankan pendekatan dialog dalam mencari jalan keluar dari berbagai tantangan dan permasalahan yang ada sehingga situasi tidak semakin memburuk,” demikian Kemenlu menambahkan.
Saat ini, pihak militer Myanmar menyerahkan kekuasaan kepada panglima militer Min Aung Hlaing serta memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun.
Menurut Myawaddy TV, militer mengambil alih kekuasaan dengan alasan pemerintah sipil gagal menindaklanjuti klaim kecurangan pemilihan umum serta tidak menunda pemilu Myanmar meski ada pandemi virus Corona.
Saluran telepon ke ibu kota Naypyitaw tidak dapat dihubungi dan TV pemerintah mati beberapa jam sebelum parlemen seharusnya rapat pertama kalinya sejak Liga Demokrasi Nasional (NLD) berhasil memenangkan pemilu Myanmar pada November kemarin.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan belum ada keputusan apakah pemerintah akan memulangkan para warga negara Indonesia (WNI) yang ada di Myanmar.
Menurut Faizasyah, pemerintah Indonesia memantau terus perihal perkembangan kondisi di Myanmar. “Sedang dipastikan oleh pejabat terkait,” tuturnya. (ATN)
Discussion about this post