ASIATODAY.ID, BALI – Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting / FMCBG) Negara G20 ke-3 di Nusa Dua, Bali, Jumat (15/7/2022), gagal menghasilkan komunike atau pernyataan bersama.
Hal ini disebabkan oleh risiko global yang mengalami peningkatan akibat perang hingga kenaikan harga pangan dan energi.
“Ini adalah situasi yang menantang dan sulit karena ketegangan politik. Jadi kami sangat menyadari konteksnya, bagaimana sebenarnya kami melakukan dan mendorong dan menyelenggarakan pertemuan ini,” jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers, Sabtu (16/7/2022).
Sejak awal, Indonesia sebenarnya telah menyiapkan 14 paragraf Chair Summary yang akan diusulkan sebagai komunike. Dari 14 paragraf itu, terdapat dua paragraf yang gagal mendapat kesepakatan dari tiap anggota negara G20.
Dua paragraf yang tidak mendapatkan kesepakatan bersama itu berkaitan dengan ketegangan politik dan masih pada pendirian masing-masing negara anggota.
“Tentu saja kami benar-benar menempatkan itu dalam konteks bahwa di satu sisi ini mencerminkan semua pandangan anggota ini dan di sisi lain ada masalah yang belum bisa mereka rekonsiliasi,” terang Sri Mulyani.
Presidensi G20 merupakan forum yang dibentuk membahas isu perekonomian. Kendati begitu seiring meningkatnya ketegangan geopolitik memebuat terjadinya resistensi antara isu politik dan isu ekonomi itu sendiri.
Sri menjelaskan, menghadapi tantangan dan risiko pemulihan ekonomi yang berat, para negara anggota G20 berkomitmen untuk mencari exit strategy dari dampak pandemi.
Selain itu, ketegangan geopolitik dengan adanya perang di Ukraina, kenaikan inflasi global, serta ketahanan energi dan pangan juga menjadi tantangan yang perlu diantisipasi.
Meski demikian Sri Mulyani menegaskan dalam pertemuan ketiga ini sedianya telah berhasil mendapatkan sejumlah kesepakatan utuh yang cukup progresif. Salah satunya, mengenai pembentukan dana perantara keuangan (Financial Intermediary Fund/FIF) untuk kesiapsiagaan, pencegahan, dan respons (preparedness, prevention, and response/PPR) pandemi.
Hal ini tercermin dari bertambahnya jumlah negara yang berkomitmen untuk berkontribusi pada FIF.
Dalam pertemuan kali ini, Italia, China, Uni Emirat Arab, Jepang, dan Korea Selatan menyatakan akan mendukung FIF baik dari gagasan maupun kontribusi dana.
“World Bank dalam hal ini melalui pertemuan dewan, mereka sepakat melanjutkan untuk menciptakan FIF dan melakukan gugus tugas untuk co-chair bersama Indonesia dan Italia ini akan terus dilanjutkan dan para negara donor kita juga akan bekerja sama dengan World Bank, WHO, dan pemangku kepentingan lain,” urainya.
Adapun jumlah dana yang saat ini terhimpun melalui FIF berada di kisaran US$1,28 miliar, naik sekitar US$0,18 miliar dari pertemuan sebelumnya.
Rencananya FIF akan mulai beroperasi penuh tahun ini dengan World Bank sebagai Wali Amanat dan WHO sebagai pendukung utamanya.
Isu lain yang juga menjadi perhatian dalam pertemuan ini adalah keuangan berkelanjutan yang fokus memajukan tiga agenda utama yaitu transisi keuangan untuk ekonomi hijau, meningkatkan keuangan berkelanjutan, dan keterjangkauan instrumen hijau.
Kemudian juga terkait masalah pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan.
“Dalam pertemuan FMCBG, dua topik lain yang dibahas yaitu pajak dan pembangunan, serta transparansi pajak. Anggota G20 menegaskan pembangunan teknis, untuk dua pilar (perpajakan internasional) tersebut. Para anggota untuk implementasikan transparansi perpajakan,” paparnya.
Selain itu, pertemuan G20 kali ini juga membahas masalah ketahanan pangan yang juga merupakan salah satu diskusi yang paling tepat saat ini.
Berbagai negara termasuk organisasi internasional berkomitmen membahas penguatan kerja sama global dalam penanganan krisis pangan.
“Jadi kita sepakat bahwa kita perlu melanjutkan semangat dalam kolaborasi dan kerjasama, itu sangat terlihat dan itulah semangat G20 yang menurut saya sangat kita banggakan masih bisa dipertahankan,” tandas Sri Mulyani. (ATN)
Discussion about this post