ASIATODAY.ID, SYDNEY – Amerika Serikat (AS) dan Badan Energi Internasional (IEA) mendesak negara-negara di Asia mendiversifikasi rantai pasokan mereka untuk energi dan mineral.
Hal itu penting agar negara-negara di kawasan itu tidak bergantung pada negara-negara seperti China dan Rusia.
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol dan Menteri Energi AS Jennifer Granholm mengatakan krisis energi saat ini, yang berasal dari sanksi terhadap Rusia, harus menjadi dorongan bagi negara-negara Indo Pasifik untuk lebih fokus pada transisi dari bahan bakar fosil.
Namun, lanjutnya, itu akan mengharuskan kawasan untuk menjauh dari mengandalkan China di teknologi tenaga surya dan negara-negara seperti Republik Demokratik Kongo dan Rusia untuk mineral penting yang dibutuhkan guna kendaraan listrik dan baterai.
“Kami ingin memastikan kami tidak sebagai negara di bawah jempol diktator petro, di bawah jempol mereka yang tidak berbagi nilai-nilai kami, di bawah jempol mereka yang ingin mengendalikan aspek strategis dari rantai pasokan,” kata Granholm, di Forum Energi Sydney, dilansir dari The Business Times, Minggu (17/7/2022).
Forum ini diselenggarakan bersama oleh Pemerintah Australia dan IEA. Birol mengatakan China menyumbang sebanyak 80 persen dari rantai pasokan global teknologi surya dan pada 2025 akan tumbuh menjadi 95 persen.
“Ketergantungan pada satu produk tunggal, satu teknologi tunggal -untuk mengandalkan seluruh dunia pada satu negara adalah sesuatu yang kita semua perlu pikirkan dari perspektif keamanan energi,” kata Birol.
Di sisi pasokan energi, dia mengatakan, siapapun yang merencanakan investasi besar bahan bakar fosil baru yang hanya akan berjalan dalam beberapa tahun perlu mempertimbangkan risiko iklim dan risiko bisnis bagi investor karena dunia beralih ke energi yang lebih bersih. (ATN)
Discussion about this post