ASIATODAY.ID, JAKARTA – Global Crisis Response Group (GCRG) mencatat, perang Rusia dan Ukraina menimbulkan dampak luas, termasuk pelemahan mata uang negara-negara di dunia terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
“100 hari setelah perang Ukraina, mata uang 142 negara berkembang rata-rata terdepresiasi dengan rata-rata 2,8 persen terhadap dolar Amerika,” jelas Sekretaris Kementerian Koordinator (Sesmenko) Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso dalam Media Briefing, Jumat (10/6/2022).
Menurut GCRG, 60 persen dari negara-negara termiskin berada dalam kesulitan utang atau tinggi risiko.
Kemudian, tingkat utang publik di negara berkembang meningkat dari 55,7 persen menjadi 65,1 persen dari PDB antara 2019 dan 2021. Pada 2022, diperkirakan membutuhkan USD311 miliar untuk melayani utang luar negeri publik akibat konflik berkepanjangan Rusia-Ukraina
“Di sektor keuangan dan masalah suku bunga dan ketidakpastian di global berdampak pada nilai mata uang sbeagian besar negara berkembang dan kemampuan pasar luar negeri,” jelas Susiwijono.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan menyebutkan, nilai tukar atau kurs rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi sepanjang kuartal pertama 2022 akibat disrupsi global. Secara rerata, kurs rupiah melemah hingga 0,33 persen dibanding posisi akhir 2021.
Depresiasi nilai tukar rupiah dianggap lebih baik dibanding mata uang ringgit Malaysia yang melemah 1,15 persen year to date (ytd), Rupee India terdepresiasi 1,73 persen (ytd), dan baht Thailand melemah hingga 3,15 persen (ytd)
Lbih lanjut Sesmenko Perekonomian menjelaskan, selain sektor keuangan, pangan dan energi juga ikut terdampak. Indeks harga pangan dunia Food and Agriculture Organization (FAO) menyusut ke level 157,4 poin pada Mei 2022 atau turun 0,9 poin dari April. Harga minyak mentah atau CPO melonjak tajam hingga menembus USD130 per barel saat perang di Ukraina.
“Dampak konflik Rusia-Ukraina sangat dirasakan banyak negara dan membuat krisis global,” jelasnya.
GCRG beranggotakan enam kepala negara di antaranya Senegal, Denmark, Jerman, Barbados, Bangladesh, dan Indonesia yang ditunjuk menjadi Champions GCRG. Sementara, Sekjen PBB dan Presiden Senegal (Chair African Union) menjadi Co-Chair dari GCRG. Negara itu merumuskan sebuah solusi untuk memitigasi dan merespons dampak krisis pangan, energi dan keuangan.
“Sekjen PBB waktu itu berinisiatif ingin mengajak para pimpinan kepala negara pemerintahan yang bisa mewakili beberapa komoditas di multilateral membantu menangani masalah global ini, termasuk keterlibatan Indonesia,” pungkasnya. (ATN)
Discussion about this post