ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia diminta untuk menutup impor bauksit.
Hal itu diungkapkan oleh Anggota Komisi VII DPR RI, Diah Nurwitasari merespon informasi yang diterimanya, bahwa PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) menyampaikan opsi jika tidak ada pasokan bauksit dalam negeri mereka minta impor.
Menurut Diah, pemerintah sebaiknya menutup opsi untuk impor dan lebih fokus untuk memaksimalkan pasokan bauksit di dalam negeri.
Diah mengungkapkan hal itu usai pertemuan Tim kunjungan kerja panja bauksit komisi VII DPR RI dengan jajaran Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bupati Kabupaten Bintan serta Direktur PT Bintan alumina Indonesia beserta jajaran, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Kamis (19/1/2023).
“Opsinya adalah pemerintah membantu menyelesaikan persoalan terkait dengan izin usaha pertambangan sehingga pasokan terhadap perusahaan ini bisa berjalan dan bisa berproduksi dengan baik,” jelas Diah, dikutip dari laman DPR, Senin (23/1/2023).
Diah menerangkan yang di keluhkan PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) sejak tahun lalu yaitu dengan adanya beberapa peraturan pemerintah, pasokan bauksit untuk PT BAI ini berkurang, sehingga target produksi mereka yang satu juta ton per tahun yang akan dikembangkan menjadi 2 juta ton itu bahkan sekarang terkendala.
“Proyek strategis nasional yang investasinya sudah bukan sedikit lagi sekitar Rp17 triliun, investasinya besar untuk membuat aluminium dan salah satu bahan pokok untuk membuat baku alumina ini adalah bauksit, tetapi sekarang terkendala mereka sampai dengan beberapa bulan ini mereka hanya bisa produksi sekitar 500.000 ribu ton. Dampaknya ini tentu membuat perusahaan ini sulit untuk berproduksi ketika pasukan bauksitnya rendah,” urai Diah.
Anggota DPR RI Fraksi PKS itu juga menambahkan, dari hasil pertemuan ada dua highlight yang disampaikan, pertama yaitu sinkronisasi aturan, jangan sampai pemerintah membuat sebuah peraturan kemudian sulit untuk dieksekusi di lapangan.
“Aturan harus direncanakan secara komprehensif dan tidak berpihak kepada salah satu sektor karena ini masih dalam satu konstruksi pemerintah yang sama,” kata Diah.
Poin kedua, tambang itu tidak bisa dilepas dari aspek lingkungan hidup, berapa banyak lingkungan hidup itu rusak dengan aktivitas tambang.
“Oleh karenanya ketika mengukur potensi sumber daya mineral di negeri kita, ini harus diukur betul kalau ternyata sumber daya alamnya berada di daerah konversi alam harus jangan terlalu dihitung sebagai harta karunnya kita,” jelasnya.
“Jangan sampai demi meraih keuntungan dari pertambangan tetapi kita merusak alam yang dampaknya nanti bahkan lebih mahal dibandingkan dengan keuntungan yang kita dapatkan ketika kita mengeksploitasi sumber daya alam itu,” tegas Diah.
“Ini yang menjadi titik tekan saya, keseimbangan itulah yang harus tetap kita perhatikan antara bagaimana kita mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam dan juga memperhatikan kelestarian lingkungan hidup,” pungkasnya. (ATN)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post