ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pertemuan tahunan IMF dan World Bank telah usai digelar di Marrakech, Maroko, pada Sabtu (14/10/2023). Pertemuan tersebut berlangsung di bawah bayang-bayang ketegangan baru di Timur Tengah akibat meletusnya konflik Hamas-Israel.
Selain itu, pertemuan ini diselenggarakan di Maroko yang masih dalam proses pemulihan akibat gempa bumi dahsyat beberapa waktu lalu. Diskusi-diskusi dalam pertemuan ini berkisar dari prospek ekonomi dunia yang terbebani oleh utang, inflasi dan konflik, hingga kesenjangan kekayaan yang semakin besar antara negara-negara kaya dan miskin.
Pertemuan ini juga membahas upaya-upaya yang gagal untuk mengatasi perubahan iklim.
Dilansir dari Reuters, Senin (16/10/2023), setidaknya ada 5 isu krusial yang menjadi sorotan dalam pertemuan tahunan IMF-World Bank;
Ekonomi yang Tertatih-tatih
Dalam proyeksi IMF terbaru, yang dirilis sebelum eskalasi konflik antara Israel dan Hamas, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat dari 3,5% tahun lalu menjadi 3% tahun 2023. Adapun pada 2024, IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 2,9%, turun 0,1% dari perkiraan sebelumnya. Sementara itu, IMF memperkirakan inflasi global turun dari 6,9% tahun ini menjadi 5,8% tahun depan.
Para gubernur bank sentral mengisyaratkan kesiapan untuk mengakhiri kenaikan suku bunga jika situasi memungkinkan, dengan harapan bahwa inflasi dapat dijinakkan tanpa terlalu keras. Di sisi lain, sebagian besar sepakat bahwa masih terlalu dini untuk memperkirakan dampak konflik di Timur Tengah terhadap ekonomi global.
Kepala ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas sendiri menggambarkan pertumbuhan ekonomi global berjalan “tertatih-tatih, bukan berlari kencang”.
Tekanan Utang
Beban utang yang berat dari negara-negara maju seperti AS, China, dan Italia menjadi tema yang selalu dibahas dalam pertemuan tahunan tersebut, yang muncul setelah pasar keuangan dalam beberapa minggu terakhir mendorong kenaikan imbal hasil obligasi AS.
Gubernur bank sentral Italia Ignazio Visco mengatakan bahwa ada kesan pasar sedang mengevaluasi kembali premi jangka waktu karena para investor menjadi tidak tertarik memegang surat utang jangka panjang. Salah satu area kebijakan yang dapat memberikan dampak adalah perang melawan perubahan iklim.
Kepala divisi fiskal IMF Vitor Gaspar memperingatkan bahwa kebijakan-kebijakan berbasis subsidi yang ada saat ini gagal menghasilkan emisi nol bersih dan bahwa meningkatkannya akan membuat utang publik melonjak.
“Negara-negara akan membutuhkan campuran kebijakan baru dengan penetapan harga karbon sebagai pusatnya,” ungkap IMF.
Reformasi Utang
Selain di negara-negara maju, kenaikan suku bunga, penguatan dolar AS, dan ketidakpastian geopolitik juga menambah tantangan bagi seluruh dunia. Turki menjadi sorotan ketika Menteri Keuangan Mehmet Simsek menyampaikan rencana reformasinya.
“Masalah struktural terbesar adalah menurunkan inflasi. Dan mereka sedang mengupayakannya,” kata Global Head of Emerging Markets Research di HSBC Murat Ulgen.
Sementara itu, Kenya sedang berusaha untuk menghindari tergelincir ke dalam masalah utang dan gubernur bank sentralnya mengatakan bahwa mereka merencanakan pembelian kembali 25% dari obligasi global senilai US$2 miliar yang jatuh tempo pada bulan Juni.
Satu kesepakatan restrukturisasi utang yang dicapai dalam pertemuan IMF ini adalah Zambia akhirnya menyetujui nota kesepahaman restrukturisasi utang dengan para kreditur termasuk China dan Prancis. Di sisi lain, belum ada progres yang jelas mengenai restrukturisasi utang Sri Lanka.
Sri Lanka mengatakan pada hari Kamis bahwa mereka telah mencapai kesepakatan dengan Export-Import Bank of China yang mencakup utang senilai US$4,2 miliar, sementara pembicaraan dengan para kreditur resmi lainnya terhenti.
Risiko Cenderung Negatif
Dalam Laporan Stabilitas Keuangan Global, IMF memperingatkan kenaikan suku bunga akan menempatkan sejumlah debitur pada posisi yang lebih genting. Sekitar 5% bank di seluruh dunia rentan terhadap tekanan jika suku bunga tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama. Selain itu, 30% bank lainnya, termasuk beberapa bank terbesar di dunia, akan menjadi rentan jika ekonomi global memasuki periode pertumbuhan rendah dan inflasi yang tinggi dalam jangka waktu yang lama.
Perebutan Pengaruh Global
Perang Ukraina, meningkatnya proteksionisme perdagangan, dan ketegangan antara AS dan China membuat pembangunan konsensus menjadi lebih sulit. Hal ini, pada akhirnya membuat tidak adanya kesepakatan untuk sebuah komunike akhir dalam akhir pertemuan tahunan ini.
Ada banyak pembicaraan mengenai pembenahan IMF dan Bank Dunia untuk lebih mencerminkan negara-negara emerging market seperti China dan Brasil. Sebuah proposal dari AS untuk meningkatkan kapasitans pinjaman IMF namun menunda peninjauan kembali kepemilikan saham di IMF mendapat dukungan luas.
Pakta yang diumumkan pada hari Sabtu berbicara mengenai peningkatan kuota pinjaman pada akhir tahun 2023 namun hanya memberikan sedikit rincian lainnya. Di sisi lain, kelompok-kelompok anti-kemiskinan merasa skeptis dengan apa yang telah dicapai dalam pertemuan ini.
Kepala Kantor Oxfam International Kate Donald mengatakan tema besar dalam pertemuan ini adalah negara-negara G7 menutup celah-celah janji-janji yang tidak dicapai.
“Meskipun banyak pihak yang meributkan tentang miliaran dolar yang dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan dan kerusakan iklim, belum ada tanda-tanda akan adanya dana baru,” ungkap Donald. (ATN)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post