ASIATODAY.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati menerangkan pemulihan ekonomi Indonesia pasca-pandemi coronavirus (covid-19) masih sulit diprediksi. Hal ini bisa dilihat dari perkiraan pertumbuhan ekonomi oleh sejumlah lembaga ekonomi global yang sangat bervariasi.
“Sampai hari ini tidak ada yang tahu seberapa lama dan seberapa dalam covid-19 ini akan memengaruhi perekonomian, Indonesia” terang Sri Mulyani dalam rapat virtual dengan Badan Anggaran DPR di Jakarta, Senin (4/5/2020).
Menurutnya, virus corona tidak hanya menyebabkan masalah dari sisi kesehatan tetapi juga sosial dan ekonomi. Bahkan perkiraan recovery ekonomi yang sebelumnya bisa terjadi pada 2021, namun kini disebut tidak akan secepat dan sekuat yang diperkirakan sebelumnya.
“Tidak ada yang tahu berapa lama shutdown akan terjadi, kapan akan ada pembukaan kembali aktivitas, apakah aktivitas berjalan normal kembali. Sehingga semua forecast ini semuanya pasti memiliki apa yang disebut asumsi yang membedakan,” paparnya.
Sri kemudian merujuk prediksi sejumlah lembaga ekonomi global yang menyatakan ekonomi akan terkontraksi. JP Morgan menyebut di 2020 ekonomi akan tumbuh minus 1,1 persen, The Economist prediksi minus 2,2 persen, Fitch perkirakan minus 3,9 persen, dan IMF memprediksi pertumbuhan global negatif tiga persen.
Untuk Indonesia, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini antara minus 3,5 persen sampai dengan 2,1 persen. Menurut ADB, ekonomi Indonesia tumbuh 2,5 persen, Moody’s prediksi tiga persen, dan IMF perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,5 persen di 2020.
Meski begitu, ekonomi Indonesia diprediksi recovery pada tahun depan. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 antara 5,2-5,6 persen, ADB prediksi lima persen, Moody’s prediksi 4,3 persen, dan IMF prediksi 8,2 persen.
Indeks Manufaktur Terpuruk
Pada kesempatan itu, Sri juga menyebutkan posisi Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia mengalami penurunan hanya dalam kurun waktu sebulan. Pada April, PMI Indonesia tercatat di angka 27,5 turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya 45,3.
“PMI Indonesia turun drastis menjadi 27,5, di bawah 50 kontraksi. Bulan lalu masih 45,3 ini pemburukan puncaknya terjadi pada April,” jelasnya.
Kontraksi PMI Indonesia merupakan yang paling dalam dibandingkan negara lain di ASEAN. Hal ini harus diwaspadai bersama, apalagi penurunan PMI ini juga lebih dalam jika dibandingkan dengan Jepang maupun Korea Selatan.
Penurunan PMI Indonesia diprediksi berlanjut sampai dengan Mei ini. Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap kinerja impor yang juga mengalami kontraksi. Bahkan penurunan PMI Indonesia bisa menjadi sinyal meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Indonesia mengalami kontraksi impor minus 3,7 persen seiring kontraksi industri manufaktur. Meskipun inflasi masih tetap terjaga di bawah tiga persen dan sampai hari ini tercatat lebih dari 2 juta pekerja terkena PHK. Kemarin Menaker bilang lebih dari dua juta,” ungkapnya.
Di sisi lain, penurunan PMI mendorong penjualan di sektor ritel mengalami pertumbuhan negatif sebesar 5,4 persen. Untuk itu, pemerintah perlu mengambil langkah cepat demi menjaga agar penurunan ini tidak semakin menjalar sektor lainnya.
“Dibutuhkan langkah-langkah cepat untuk menciptakan bantalan sektor kesehatan, sosial, ekonomi, dan keuangan. Karena dampak yang tinggi bisa menyebabkan ekonomi drop,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post