ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan sekutunya kembali mengumumkan sejumlah sanksi baru terhadap Moskow menyusul terjadinya dugaan pembantaian warga sipil di Bucha, Ukraina, yang dituduhkan kepada pasukan militer Rusia.
Sanksi-sanski ekonomi yang dirancang para pemimpin Barat itu dimaksudkan untuk merusak ekonomi Rusia serta menghukum Presiden Vladimir Putin dan anggota pemerintahannya.
Tentu berdampak langsung juga terhadap masyarakat Rusia secara umum.
Di antara sanksi-sanksi terbaru AS dan sekutunya adalah larangan untuk melakukan investasi baru di Rusia, serta sanksi terhadap bank-bank publik serta swasta terkemuka Rusia.
Sanksi dilakukan dengan memblokir penuh akses lembaga keuangan publik dan swasta terbesar Rusia, Sberbank dan Alfa Bank.
Selain itu, Gedung Putih juga memberikan sanksi terhadap anggota keluarga Putin dan Menlu Rusia Sergei Lavrov.
Sejauh ini, AS, Uni Eropa dan Inggris telah menjatuhkan sanksi kepada lebih dari seribu orang dan entitas bisnis Rusia yang dianggap dekat dengan Kremlin.
Sebelumnya pemerintahan Biden dan sekutu-sekutunya juga telah membekukan US$630 miliar aset bank sentral Rusia dalam sistem perbankan Barat untuk mempersulit Rusia dalam membayar pinjaman-pinjaman internasionalnya.
Pembantaian warga sipil di Bucha memang membuat kita prihatin. Perang tersebut terbukti telah melahirkan krisis kemanusiaan yang memprihatinkan. Perlu segera ada verifikasi dan investigasi siapa pelakunya.
Namun, belajar dari pengalaman, sanksi-sanksi yang diberikan negara-negara Barat sebenarnya tak pernah membawa perdamaian dan keamanan, melainkan hanya menambah kerugian bagi perekonomian dunia.
Selain itu, tak sepantasnya insiden yang terjadi di Bucha justru digunakan untuk memperluas konflik yang sedang terjadi.
Dunia seharusnya berkepentingan untuk mendesak Rusia dan Ukraina untuk sama-sama melakukan gencatan senjata serta menyelesaikan persoalan mereka di meja perundingan.
Tidak seharusnya insiden itu digunakan sebagai kampanye global untuk melawan Rusia.
Selama Rusia dan Ukraina tak bisa mencapai kesepakatan damai, pada dasarnya dunia tidak akan bisa menghentikan tragedi kemanusiaan yang sedang terjadi di sana.
Itu sebabnya, sesudah dunia mengetahui insiden Bucha, agenda utama kita mestinya adalah mempromosikan pentingnya pembicaraan damai dan bukannya justru memperluas konflik serta memperburuk ketegangan.
Pemerintah Rusia sendiri telah membantah bertanggung jawab atau terkait dengan tuduhan pembunuhan warga sipil di Bucha.
Kremlin mengatakan bahwa tuduhan Ukraina tentang masalah ini harus diperlakukan dengan keraguan.
Hukum internasional telah tegas melarang serangan yang disengaja terhadap warga sipil.
Sesudah Perang Dunia II, melalui Konvensi Jenewa 1949, kita telah sama-sama mengabadikan konsep tentang “koridor kemanusiaan” (Humanitarian Corridors).
Konsep ini dimaksudkan untuk memberi perlakuan manusiawi terhadap mereka yang tidak memiliki senjata di tengah-tengah terjadinya sengketa, termasuk memberi perlakuan manusiawi kepada mereka yang meletakkan senjata dan menjadi tawanan perang.
Semua negara harus menghormati prinsip ini.
Di tengah perang yang berlangsung antara Rusia dengan Ukraina, kita tentu saja tidak bisa menilai Ukraina dari apa-apa yang dilontarkan oleh Vladimir Putin, atau menilai Kremlin dari apa yang dilontarkan oleh Volodymyr Zelenskyy.
Sebelum ada penyelidikan independen dan semua fakta diketahui dengan jelas, komunitas internasional harus menjaga agar konflik ini tetap berada di jalur penyelesaian yang tepat.
Meskipun aksi serangan militer Rusia ke wilayah Ukraina tak bisa dibenarkan, namun bagi kita yang hidup di negara-negara Dunia Ketiga, serangkaian sanksi yang diambil oleh negara-negara Barat terhadap Rusia juga sama sekali sulit diterima sebagai aksi kemanusiaan.
Sanksi-sanksi itu sebenarnya hanya kian mengukuhkan standar ganda negara-negara Barat saja dalam isu HAM dan kemanusiaan.
Mereka bereaksi keras atas insiden Bucha, namun mengabaikan kejahatan serupa yang dilakukan Israel di Palestina.
Bahkan, alih-alih berupaya menghentikan pendudukan, negara-negara Barat secara finansial, militer dan politik justru menjadi penyokong pemerintah Israel.
Dengan dalih Rusia telah menginvasi Ukraina, baru-baru ini FIFA dan UEFA telah menjatuhi Rusia hukuman berat, mulai larangan menggelar laga kandang, menjadi tuan rumah Liga Champions, pencoretan Spartak Moskow dari Liga Europa, hingga pencoretan Timnas Rusia dari Piala Dunia 2022.
Negara-negara Barat telah menjadikan sepak bola sebagai alat politik untuk menekan Rusia, sebuah tindakan yang melanggar prinsip yang sering mereka omongkan.
Selain melanggar prinsip yang sering mereka promosikan, di sisi lain kita tak pernah melihat mereka memberikan pembelaan serupa kepada rakyat Palestina. Ironisnya, para pesepakbola yang menunjukkan simpatinya kepada rakyat Palestina di lapangan hijau malah diberi sanksi oleh FIFA dan UEFA. (ATN)
Discussion about this post