ASIATODAY.ID, JAKARTA – Sistem pensiun Indonesia menempati peringkat keempat di Asia dan ke-30 di seluruh dunia berdasarkan laporan tahunan Mercer CFA Institute Global Pension Index yang ke-12, sebuah studi tentang 39 sistem pensiun di seluruh dunia yang mencakup hampir dua per tiga populasi dunia. 2020 Global Pension Index, yang mengukur sistem pensiun masing-masing negara berdasarkan tiga sub-indeks (keberlanjutan, kecukupan, dan integritas) memasukkan dua negara baru – Belgia dan Israel.
Nilai indeks Indonesia secara keseluruhan menurun sedikit dari 52,2 pada tahun 2019 menjadi 51,4 pada tahun 2020, terutama karena penurunan net replacement rate (perbandingan pendapatan bersih saat pensiun dengan pendapatan bersih sebelum pensiun) yang dipublikasikan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan perubahan usia harapan hidup. Di antara semua sub-indeks, Indonesia meraih skor tertinggi untuk integritas (68,7), diikuti oleh kecukupan (45,7) dan keberlanjutan (45,6).
Indonesia menempati peringkat ke-23 untuk sub-indeks keberlanjutan yang mengukur kemampuan suatu sistem memberi manfaat di masa mendatang; ke-25 untuk sub-indeks integritas yang mempertimbangkan faktor-faktor seperti regulasi, tata kelola, komunikasi, dan biaya operasional; serta ke-33 untuk sub-indeks kecukupan yang melihat manfaat, desain sistem, tabungan, dan kepemilikan rumah di antara faktor-faktor lainnya untuk menentukan kemampuan memiliki pendapatan pensiun yang memadai.
Bill Johnston, Presiden Direktur Mercer Indonesia, mengatakan Indonesia berada di bawah rata-rata global untuk ketiga sub-indeks yaitu 60,8 untuk kecukupan, 50 untuk keberlanjutan, dan 71,3 untuk integritas.
“Untuk memperkuat skor Indonesia, ada kebutuhan untuk memperluas jangkauan karyawan dan pekerja mandiri, lebih banyak dukungan dan perubahan kebijakan untuk mendorong kontribusi pensiun swasta, dan mengurangi kebocoran tabungan pensiun sebelum masa pensiun, misalnya dengan membatasi akses untuk mencairkan dana BPJS dan DPLK. Saran lain adalah memperbaiki tata kelola rencana pensiun dan transparansi untuk meningkatkan kepercayaan peserta dan masyarakat,” jelas dia melalui keterangan tertulisnya, Rabu (21/10/2020).
Indonesia bertahan di grade C, yang berarti memiliki sistem pensiun dengan beberapa fitur yang bagus, namun juga memiliki risiko dan/atau kekurangan besar yang harus diatasi. Indonesia berada di grade yang sama dengan negara-negara maju seperti Korea Selatan, Italia, dan Spanyol.
Sementara itu, Belanda meraih skor tertinggi (82,6) dan mempertahankan posisi teratas di grade A- secara keseluruhan, walaupun terjadi reformasi pensiun yang signifikan di negara tersebut. Thailand memiliki nilai indeks terendah (40,8).
Untuk setiap sub-indeks, skor tertinggi dicapai oleh Belanda untuk kecukupan (81,5), Denmark untuk keberlanjutan (82,6), dan Finlandia untuk integritas (93,5). Skor terendah adalah Meksiko untuk kecukupan (36,5), Italia untuk keberlanjutan (18,8), dan Filipina untuk integritas (34,8).
Kondisi ekonomi saat ini memberi tekanan terhadap sistem pensiun
Berdasarkan studi, dampak ekonomi yang luas dari COVID-19 menambah tekanan finansial yang dihadapi pensiunan, baik saat ini maupun di masa depan. Ditambah dengan meningkatnya usia harapan hidup dan tekanan publik untuk mendukung kesehatan dan kesejahteraan populasi usia lanjut, COVID-19 memperburuk kondisi pensiun. Skor sub-indeks keberlanjutan rata-rata menurun 1,2 poin pada tahun 2020 karena pertumbuhan ekonomi negatif yang dialami oleh sebagian besar negara akibat COVID-19.
Dr David Knox, Senior Partner Mercer dan peneliti utama studi, mengatakan, resesi ekonomi akibat krisis kesehatan global telah menyebabkan penurunan kontribusi pensiun, imbal hasil investasi yang lebih rendah, dan peningkatan utang pemerintah di hampir semua negara. Tak pelak, ini akan berdampak pada sistem pensiun di masa mendatang, yang berarti sebagian orang harus bekerja lebih lama dan sebagian orang lainnya harus puas dengan standar hidup yang lebih rendah saat pensiun.
“Sangat penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan sistem mereka untuk memastikan hasil jangka panjang yang lebih baik bagi pensiunan. Bahkan sebelum COVID-19, banyak sistem pensiun publik dan swasta di seluruh dunia mendapat tekanan untuk mempertahankan manfaat,” kata Margaret Franklin, CFA, Presiden dan CEO CFA Institute,” jelasnya.
“Kami telah mempelajari keefektifan sistem pensiun selama bertahun-tahun, dan meskipun tidak ada model sistem pensiun tunggal yang akan berhasil di semua negara, Global Pension Index menyediakan informasi komparatif untuk menentukan hal-hal yang mungkin dan mudah diterapkan di setiap Negara,” imbuhnya.
Dampak COVID-19 terhadap sistem pensiun di masa mendatang
Dampak COVID-19 jauh lebih luas bukan hanya terhadap kesehatan, namun juga dampak ekonomi jangka panjang yang memengaruhi industri, suku bunga, imbal hasil investasi, dan kepercayaan masyarakat di masa mendatang. Akibatnya, ketersediaan dana pensiun yang cukup dan berkelanjutan untuk jangka panjang juga berubah.
Tingkat utang pemerintah di banyak negara juga telah bertambah akibat COVID-19. Peningkatan utang ini kemungkinan akan membatasi kemampuan pemerintah mendukung populasi lanjut usia, baik melalui program pensiun maupun layanan lain seperti kesehatan atau perawatan lanjut usia.
Untuk membantu meringankan dampak COVID-19, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung warga dan sistem pensiun.
Profesor Deep Kapur, Direktur Monash Centre for Financial Studies (MCFS), mengatakan bahwa banyak pemerintah di seluruh dunia telah merespon COVID-19 dengan stimulus fiskal yang substansial, dan bank sentral telah mengadopsi kebijakan moneter nonkonvensional.
“Proyeksi imbal hasil investasi rendah saat volatilitas meningkat, menambah tantangan manajemen risiko portofolio dana pensiun. Selain itu, pemerintah beberapa negara mengizinkan akses ke tabungan pensiun atau mengurangi iuran wajib untuk meningkatkan likuiditas rumah tangga. Hal ini kemungkinan besar akan berdampak kepada kecukupan, keberlanjutan, dan integritas sistem pensiun, sehingga memengaruhi perubahan indeks pensiun global di tahun-tahun mendatang,” jelas Kapur.
Pada bulan Juni, pemerintah mengalokasikan paket stimulus senilai Rp 677,2 triliun untuk memulihkan ekonomi dan membuat dunia usaha dan karyawan mampu bertahan. Ini termasuk Rp 37,7 triliun untuk program subsidi gaji kepada peserta aktif BPJS yang memiliki gaji di bawah Rp 5 juta per bulan. Penerima yang berhak menerima subsidi hingga Rp 2,4 juta, yang akan disalurkan dua kali masing-masing sebesar Rp 1,2 juta setiap dua bulan.
Jovita Sadrach, Retirement Business Leader Mercer Indonesia, mengatakan, pemerintah telah memfokuskan upaya mempertahankan lapangan kerja dan bisnis untuk memitigasi dampak finansial dan ekonomi dari krisis COVID-19. Penurunan ekonomi yang akan datang pasti akan berdampak pada kemampuan pemberi kerja dan karyawan untuk membayar iuran pensiun, sementara ketidakpastian pasar bisa membebani kinerja dana pensiun.
“Sangat penting bagi pengelola dana pensiun untuk melihat dengan cermat strategi dan portofolio mereka demi ketahanan dan keberlanjutan jangka panjang,” imbuhnya.
COVID-19 juga telah meningkatkan kesenjangan gender dalam ketersediaan dana pensiun. Janet Li, Wealth Business Leader Mercer Asia mengatakan, bahkan sebelum pandemi, kesenjangan tabungan pensiun di Asia diperburuk oleh usia harapan hidup wanita yang lebih panjang, partisipasi wanita yang lebih rendah dalam angkatan kerja, dan ketidaksetaraan gaji berdasarkan gender.
“Sekarang kesenjangan melebar di banyak sistem pensiun, terutama di sektor-sektor yang paling terpukul di mana wanita mewakili lebih dari setengah angkatan kerja, seperti perhotelan atau makanan,” tandasnya. (AT Network)
Discussion about this post