ASIATODAY.ID, BOGOR – Dampak perubahan iklim global, mendorong negara – negara di dunia untuk mengambil peran dalam rangka menjaga keseimbangan alam, tak terkecuali di Indonesia.
Di Indonesia, gerakan lingkungan oleh berbagai stakeholder, terus disuarakan, baik melalui aksi nyata maupun lewat kampanye penyadaran.
Yang terbaru, Yayasan Badak Indonesia (YABI) menggelar talkshow bertema “Badak Pejuang Pemelihara Hutan, Meredam Dampak Perubahan Iklim” di sebuah mal, di Kota Bogor, Minggu (14/7/19).
Talkshow ini, menghadirkan narasumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktur Eksekutif YABI, Wildlife Conservasition Society (WCS) Indonesia Program, Climate Reality Project dan PT Sinden Budi Santosa serta mahasiswa, pelajar dan masyarakat.
Ketua Pengurus YABI, Widodo Ramono mengatakan, acara talkshow ini, bertepatan dengan 10 tahun Climate Reality Indonesia. Tujuan acara ini digelar agar masyarakat mengetahui pentingnya melestarikan badak Indonesia.
“10 tahun yang lalu kami di latih mengenai perubahan iklim. Untuk itu, kita pahami perubahan iklim itu sudah terjadi dan banyak masalah yang mengganggu kehidupan,” ujar Widodo.
Menurut Widodo, satwa Badak mempunyai peran yang penting dalam melestarikan hutan. Sebab hutan itu, suatu ekosistem yang sangat penting untuk mendukung rantai kehidupan.
“Karena itu kita ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mengajak semua melestarikan Badak dan membantu meredam perubahan iklim yang drastis ini. Untuk itu, YABI mengupayakan dialog dengan para pakar, dokter hewan, pengelola kawasan, WCS dan Climate Reality project,” jelasnya.
Menurut Widodo, saat ini populasi Badak jawa jumlahnya masih stabil antara 68-70 ekor dan itu aman di taman Nasional Ujung Kulon. Untuk membantu perlindungan disana ada 5 unit Rhino protection.
“Sejak 1998, ada 5 unit Rhino protection membantu disana dan tidak ada perburuan liar terhadap Badak Jawa,” ungkapnya.
Untuk Badak Sumatera, lanjut Widodo sudah sangat menurun jumlah populasinua. Masalahnya memang rumit, karena adanya alih fungsi lahan dan terputusnya jalur migrasi. Jadi sekarang ini di ekosistem Leuser itu ada dua kelompok yakni Leuser barat dan Leuser timur.
“Di leuser barat populasi masih sekitar 15 ekor dan itu dianggap masih baik dan perlu dilindungi secara mutlak, sedangkan di Leuser timur ada 9 ekor terpisah-pisah dan itu juga harus segera di selamatkan. Untuk ekosistem Leuser mereka harus membuat penangkaran seperti di Waykambas,” ujarnya.
Ia menambahkan, di taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Waykambas kira kira populasinya tinggal 30 ekor saja, itu juga diluar 7 yang ada di penangkaran. Kondisi Badak memang menurun karena, pertama, pengurangan lahan dan habitatnya berkurang sehingga bisa membahayakan posisi Badak.
Kedua, perilaku kawin Badak Sumatera itu unik salah satunya dalam waktu 24 hari Badak betina itu mau ditemui Badak lain dalam 4 hari dan didalam 4 hari tersebut yang paling baik adalah pada waktu bakal telurnya itu berdiameter antara 19 – 22 milimeter dan itu terjadi dalam waktu 1 hari.
“Sehingga dalam satu hari jika tidak ketemu Badak jantan dan tidak kawin maka tidak bisa berkembang biak. Untuk itu kita harus mempersatukan Badak-badak itu dan memanage pengelolaannya supaya pertemuan Badak itu pada waktu yang pas, harapannya kita tahu mengembang biakan Badak dan bagaimana mendapatkan anak Badak sebanyak banyaknya dalam kondisi yang baik serta harus mengembalikan Badak ke habitatnya karena badak ini satwa liar,” pungkasnya. (AT Network)
Discussion about this post