ASIATODAY.ID, JAKARTA – Perubahan iklim kini menjadi masalah serius yang dihadapi oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Pasalnya, dampak perubahan iklim secara global benar-benar sedang berlangsung.
Di Indonesia, Badan Meteorologi dan Klimatologi (BMKG) memainkan peran penting dalam menganalisis situasi iklim.
Karena itu, BMKG terus memperkuat observasi dan analisis Meteorologi, Klimatologi dan Oseanografi di perairan Indonesia, guna menghadapi berbagai tantangan akibat perubahan iklim.
Komitmen itu ditegaskan lagi oleh BMKG dalam memperingati Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-71.
“Semangat HMD tahun 2021 penting bagi BMKG dan Indonesia dalam rangka penguatan dan peningkatan observasi meteorologi dan iklim yang terintegrasi dengan observasi lautan/ samudera, yang saat ini ditindaklanjuti dengan modernisasi sistem dan peralatan observasi, analisis dan pemodelan meteorologi maritim dengan teknologi terkini,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangannya Kamis (25/3/2021).
Hal tersebut sejalan dengan tema HMD tahun ini yaitu “Waspada Cuaca, Peduli Iklim, dan Selamatkan Laut”. Peringatan ini penting pula untuk menyadarkan kita bahwa perubahan iklim baik secara global maupun dampak lokalnya benar-benar sedang berlangsung.
Deputi Klimatologi BMKG, Herizal menjelaskan bahwa tren kenaikan suhu udara di Indonesia terjadi di sebagian besar wilayah, dengan menggunakan data observasi BMKG (1981-2020) menunjukkan tren positif dengan besaran yang bervariasi dengan nilai sekitar 0.03 °C setiap tahunnya.
Sehingga dalam 30 tahun estimasi kenaikan suhu udara akan bertambah sebesar 0.9 °C.
Untuk wilayah Indonesia secara keseluruhan, tahun 2016 merupakan tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.8 °C sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020.
Tahun 2020 sendiri menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.7 °C, dengan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.6 °C.
Sebagai perbandingan, informasi suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) di laporan terakhirnya pada awal Desember 2020 juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama), dengan tahun 2020 sedang on-the-track menuju salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.
Kenaikan suhu tersebut korelatif dengan peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca, terutama konsentrasi CO2. Monitoring yang dilakukan oleh BMKG di stasiun pengamatan Global Atmosphere Watch Bukit Kototabang menunjukkan konsentrasi gas CO2 di Indonesia telah mencapai 411.1 ppm pada tahun awal tahun 2021, meningkat signifikan dibandingkan dengan konsentrasi CO2 di tahun 2004 sebesar 372.1 ppm.
Peningkatan konsentrasi ini relatif masih dibawah rata-rata global, yaitu telah mencapai 415.0 ppm pada awal tahun 2021.
Dampak kombinasi antara anomali iklim global yang alamiah seperti La Nina dan El Nino dengan perubahan iklim global akan mengakibatkan hujan ekstrim yang lebih sering, lebih tinggi intensitasnya dan lebih lama durasinya pada saat musim hujan, ataupun kekeringan panjang pada saat musim kemarau, serta naiknya muka air laut.
Proyeksi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa kenaikan permukaan laut dapat mencapai sekitar 30 cm hingga 60 cm pada tahun 2100, bahkan jika emisi gas rumah kaca berkurang tajam dan pemanasan global dibatasi hingga di bawah 2 derajat celcius sesuai Kesepakatan Paris ( the Paris Agreement).
Namun, jika emisi gas rumah kaca terus berlanjut, kenaikannya akan berkisar antara 60 cm hingga 110 cm.
Lautan menggerakkan cuaca dan iklim dunia serta menjadi jangkar bagi ekonomi dan ketahanan pangan global. Perubahan iklim tidak hanya berpengaruh besar terhadap lautan, tetapi juga meningkatkan bahaya bagi ratusan juta orang. (ATN)
Discussion about this post