ASIATODAY.ID, JAKARTA – Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) mengembangkan hub skala regional sebagai platform untuk berbagi pengetahuan dan memperkuat kerjasama dalam kebijakan pajak serta administrasi pajak.
Hub ini ditujukan untuk lintas ekonomi di Asia dan Pasifik, beserta lembaga pembangunan multilateral.
Presiden ADB Masatsugu Asakawa mengatakan, pembentukan hub regional berangkat dari penerimaan pajak di negara berkembang Asia yang jauh lebih rendah dari negara umumnya.
ADB mencatat, kontribusi pajak terhadap penerimaan negara hanya 17,6 persen, sedangkan rata-rata negara Organsiasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencapai 24,9 persen.
“Untuk di Asia Tenggara, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) lebih rendah dari 15 persen, yang kini dianggap sebagai level minimum untuk pembangunan berkelanjutan,” kata Asakawa di forum Tahunan ADB ke-53 yang digelar secara virtual, Kamis (17/9/2020).
Menyrutnya, pandemi Covid-19 telah memperburuk situasi. Tingginya tekanan terhadap output ekonomi dan penurunan pendapatan pajak, meninggalkan sedikit ruang bagi banyak negara untuk bisa menambah pinjaman luar negeri.
Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) menjadi salah satu masalah relevan yang menghambat penerimaan pajak Asia dan Pasifik.
Pasalnya, pasar dan potensi daya beli mereka sangat besar yang menjadi daya tarik besar bagi perusahaan multinasional.
“Ini akan membuat negara-negara tersebut lebih rentan terhadap praktik BEPS, kecuali ada tindakan tepat,” imbuhnya.
Selain itu Asia dan Pasifik merupakan satu-satunya kawasan yang tidak memiliki asosiasi perpajakan skala regional untuk bertukar pikiran serta memfasilitasi kesepakatan mengenai masalah perpajakan internasional serta regional. Sebab, perpajakan masih dinilai sebagai masalah kedaulatan tiap negara, sehingga pemerintah kerap tidak terikat dengan perjanjian global.
Menurut Asakawa, ada dua kunci sukses dalam mengatasi tantangan tersebut, khususnya dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di dunia yang kini sedang ditekan pandemi Covid-19.
“Terletak pada penguatan mobilisasi sumber daya domestik (Domestic Resource Mobilization/ DRM) dan kerja sama perpajakan (International Tax Cooperation/ ITC),” jelas Asakawa.
Hub regional ini akan fokus untuk mendorong DRM dan ITC melalui kolaborasi erat antara otoritas keuangan dan pajak di tiap negara berkembang. Organisasi internasional turut dilibatkan, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), OECD dan Bank Dunia, serta asosiasi pajak daerah.
Asakawa mengungkapkan, hub regional akan melayani berbagai fungsi seperti pengembangan kelembagaan dan kapasitas diantaranya dengan pertukaran informasi, berbagi pengetahuan di seluruh mitra, lembaga keuangan internasional, organisasi pendapatan bilateral dan negara berkembang.
“Platform hub regional akan terbuka dan inklusif yang berupaya mempertemukan para praktisi dari badan kebijakan perpajakan serta badan administrasi perpajakan di negara berkembang. Tujuannya, mencapai kemajuan yang berarti dalam reformasi perpajakan,” urainya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani yang turut hadir dalam pertemuan tersebut menyambut baik pembentukan hub regional ini.
Menurutnya, proses pembangunan suatu negara juga membutuhkan keterlibatan dari negara lain, termasuk dari sisi penerimaan pajak.
“Termasuk Indonesia sebagai negara anggota ADB dengan rasio pajak yang rendah, menunjukkan bahwa kita tidak bisa melakukannya sendiri,” terangnya.
Sri memandang, merancang reformasi pajak memang dapat dilakukan dan dikontrol negara sendiri.
“Tapi, bertukar pengalaman dan pengetahuan, terutama dari sisi praktik kebijakan, tetap penting,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post