ASIATODAY.ID, JAKARTA – Perusahaan yang berbasis di Australia, Sun Cable siap membangun kabel bawah laut yang menghantarkan energi listrik dari Australia ke Singapura. Proyek bertajuk Australia-Asia PowerLink tersebut akan melewati sebagian wilayah perairan Indonesia.
Sun Cable berkomitmen akan menginvestasikan USD2,5 miliar atau setara Rp 35,5 triliun di Indonesia. Proyek ini rencananya akan mulai berjalan pada 2024 dan diharapkan akan selesai pada 2028 mendatang.
Jika terealisasi, kabel listrik bawah laut sepanjang 4.200 km yang membentang dari Darwin, Australia ke Singapura melalui Laut Timor dan perairan Indonesia itu akan menjadi kabel listrik bawah laut terpanjang di dunia.
Menurut Herman Darnel Ibrahim, pakar ketenagalistrikan yang juga anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Indonesia, periode 2021–2025, untuk merealisasikan proyek spektakuler ini, akan menghadapi tantangan besar.
Herman mengungkapkan, sampai saat ini, kabel listrik bawah laut High Voltage Direct Current (HVDC) terpanjang di dunia adalah North Sea Link yang menghubungkan Inggris-Norwegia sepanjang 720 km. Dengan panjang hampir 6 kali dari North Sea Link, kabel listrik bawah laut Australia-Singapura jelas butuh kerja dan investasi luar biasa.
Sebagai perbandingan, Herman merujuk pada kajian “Estimasi Biaya Listrik PLTS Sumba dengan Transmisi HVDC 3 GW Sumba–Paiton”.
Berdasarkan kajian itu, jalur HVDC dari Sumba, NTT ke Paiton, Jawa Timur, untuk kapasitas listrik energi surya sebesar 3 GW dengan kabel bawah laut kira-kira sepanjang 760 km, dibutuhkan biaya USD42,15 miliar atau sekitar Rp611 triliun.
“Kajian ini menjelaskan bahwa proyek transmisi bawah laut yang membentang dari Australia ke Singapura untuk mengirimkan listrik dari tenaga surya dipastikan menelan investasi yang tidak kecil,” jelasnya Jumat (15/10/2021).
Herman menyampaikan pula bahwa karakteristik kabel bawah laut itu berisiko tinggi.
Dia mencontohkan, jika misalnya rusak akibat terkena jangkar, maka tidak hanya kerugian kabel, tetapi penyediaan listrik skala besar pun akan terganggu. Selain itu, masih banyak potensi gangguan lainnya yang perlu dipertimbangkan.
Dia menceritakan, Malaysia pada 2008 ingin membangun kabel bawah laut untuk mengalirkan listrik dari PLTA Serawak ke Semenanjung sepanjang 800 km. Namun, setelah mempertimbangkan risiko dan biayanya, Malaysia menunda rencana tersebut.
“Kabel bawah laut bisa saja dibangun, tetapi hanya sebagai daya cadangan, bukan sebagai suplai utama,” tandasnya.
Tantangan lainnya, konstruksi kabel bawah laut tak boleh ada sambungan. Kabel dari pabrik harus langsung dibawa dan digelar di kapal.
“Bagaimana kira-kira mencari solusi agar kabel sepanjang 4.200 km tidak ada sambungan di dalam air? Apakah pasokan akan aman, karena itu rawan terkena jangkar, juga sabotase,” tuturnya.
Lebih lanjut, berdasarkan hitung-hitungannya, Herman memperkirakan tarif listrik PLTS yang akan dikirimkan melalui kabel bawah laut ke Singapura bisa di atas USD25 sen per kWh.
Rinciannya adalah untuk kabel bawah laut sepanjang 4.200 km ada biaya tambahan USD14 sen per kWh. Sementara harga listrik dari PLTS sekitar USD4 sen hingga USD8 sen per kWh. Kemudian, ada pula biaya battery storage dan biaya lainnya.
“Jadi, tarif listrik tenaga surya yang dikirim dari Australia ke Singapura itu bisa mencapai USD28 sen per kWh (Sekitar Rp4.060 per kWh). Sebagai pembanding, tarif dasar listrik di Indonesia di kisaran Rp1.400 per kWh,” urainya.
Karena itu, selain persiapan dari sisi manufaktur, pengangkutan kabel sepanjang 4.200 km dari pabrikan menuju ke laut, penggelaran kabel di bawah laut, potensi sabotase, kehilangan daya, risiko terkena jangkar kapal, dan potensi-potensi gangguan lainnya, semua ini tentu akan kian menambah biaya investasinya. (ATN)
Discussion about this post