ASIATODAY.ID, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) telah mengucurkan likuiditas sebanyak Rp503,8 triliun untuk sektor perbankan. Langkah kebijakan moneter itu dilakukan melalui instrumen quantitative easing.
Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, kebijakan quantitative easing dilakukan bank sentral sejak Januari hingga April 2020 sebesar Rp386 triliun. Kemudian 117,8 triliun, sisanya berasal dari kebijakan yang ditetapkan pada Rapat Dewan Gubernur pada 13-14 April 2020 lalu.
“Tambahan likuiditas di Mei ini Rp117,8 triliun. Jadi total quantitative easing yang dilakukan Bank Indonesia itu jumlah semuanya sebanyak Rp503,8 triliun,” ujar Perry melalui video telekonferensi di Jakarta, Rabu (29/4/2020).
Total likuiditas Rp386 triliun yang digelontorkan Bank Indonesia sejak Januari hingga April 2020 berasal dari berbagai sumber. Sebanyak Rp166,2 triliun berasal dari pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
“Kami membeli SBN dari pasar sekunder yang dijual oleh asing. Kalau asing menjual SBN, BI beli SBN asing, BI mendapatkan SBN, BI menambah likuiditas. Itu jumlahnya Rp166,2 triliun,” paparnya.
Kemudian, dari term repurchase agreement (repo) perbankan sebanyak Rp137,1 triliun. Dalam hal ini bank-bank dan korporasi yang membutuhkan likuiditas dapat melakukan term repo SBN kepada BI dengan tenor 1, 3, 6, hingga 12 bulan.
Selanjutnya berasal dari kebijakan pelonggaran giro wajib minimum (GWM) yang telah dilakukan bank sentral pada Januari hingga April 2020 dengan total mencapai Rp53 triliun. Terakhir, bersumber dari swap valuta asing (valas) sebesar Rp29,7 triliun.
“Kalau dijumlah, quantitative easing yang dilakukan Bank Indonesia dari Januari hingga April ini sebanyak Rp386 triliun,” papar Perry.
Sementara, tambahan likuiditas yang akan mengalir pada Mei 2020 sebanyak Rp117,8 triliun berasal dari penurunan GWM rupiah masing-masing sebesar 200 basis poin (bps) untuk Bank Umum Konvensional dan 50 bps untuk Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah. Kebijakan yang berlaku per 1 Mei 2020 ini ditaksir mampu menambah likuiditas perbankan sebanyak Rp102 triliun.
Di samping itu, BI juga mewajibkan perbankan untuk membeli SBN yang diterbitkan bank sentral melalui private placement. SBN yang dimiliki BI berasal dari lelang surat utang pemerintah yang diterbitkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di pasar perdana.
Sehingga, pada saat yang sama pemerintah mendapatkan Rp102 triliun dari pembelian SBN oleh BI, perbankan mendapatkan SBN Rp102 triliun dari BI, dan Rp102 triliun yang dimiliki BI berasal dari term repo SBN perbankan kepada BI untuk kebutuhan likuiditas.
“Ini yang saya sebut satu kebijakan tiga tujuan sekaligus bisa dicapai. Quantitative easing BI tambahannya bisa dicapai, kebutuhan untuk pembiayaan fiskal APBN dengan menerbitkan SBN bisa dicapai, dan pada saat yang sama manajemen likuiditas bank itu juga bisa dicapai,” tegas Perry.
Selain itu, sumber tambahan likuiditas Rp117,8 triliun lainnya berasal dari peniadaan pemberlakuan kewajiban tambahan giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) terhadap Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah selama satu tahun yang mulai berlaku pada 1 Mei 2020. Langkah ini ditaksir mampu menambah likuiditas sebanyak Rp15,8 triliun.
“Kalau dijumlah dari penurunan GWM yang jumlahnya itu Rp102 triliun ditambah dengan tidak mewajibkan dalam setahun ini tambahan giro untuk memenuhi RIM yang jumlahnya Rp15,8 triliun, maka ada tambahan di Mei ini sebanyak Rp117,8 triliun,” tandas Perry. (ATN)
Discussion about this post