ASIATODAY.ID, JAKARTA – Sejak Pemerintah Indonesia memberlakukan larangan ekspor nikel per 1 Januari 2020, bisnis Nikel di Indonesia dalam seketika berubah drastis.
Komoditi nikel yang semula bisa diperdagangkan lintas negara, kini berubah menjadi komoditas yang hanya boleh diperdagangkan ditingkat domestik. Dari sinilah masalah muncul. Bisnis Nikel yang semula bisa melibatkan berbagai stakeholder, kini hanya dikuasai segelintir orang.
Hal ini mengemuka dalam forum diskusi bertajuk Prospek Industri Nikel Dalam Negeri, yang digagas oleh Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Hotel Sahid Center, Jakarta, Jumat (27/2/2020).
Salah satu problem yang paling menjadi sorotan, kebijakan larangan ekspor nikel tersebut tidak disertai dengan aturan tata niaga yang transparan dan akuntable. Akibatnya, perdagangan nikel seperti layaknya dilepas di pasar bebas.
“Kebijakan larangan ekspor ini membuat nikel yang berkadar 1,7 persen ke bawah tak bisa lagi diekspor. Para penambang kebingungan mau dibawa kemana nikel ore berkadar 1,7 persen ini. Apalagi smelter nikel di Indonesia hanya menerima kadar nikel sebesar 1,8 persen,” jelas Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H. Maming.
Masalah bertambah kata Maming karena Nikel berkadar 1,8 persen ini berada di ujung tanduk karena belum ada kepastian harga patokan mineral yang diterima smelter yang itu diatur regulasinya apabila tak sesuai dengan Harga Patokan Mineral (HPM) maka akan mendapatkan sanksi.
Sejauh ini hanya ada dua smelter besar yang diharapkan bisa menyerap pasar nikel domestik. Kedua smelter itu berbasis di Sulawesi yakni Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) yang berada di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara (Sultra). Kedua smelter besar ini merupakan investasi China.
“Kalau pemerintah tidak membuat HPN, maka bisnis Nikel ini hanya akan dikuasai oleh segelintir. Semua pengusaha nasional yang bermain di bisnis ini tidak berdaya. Bila perlu pemerintah harus melakukan intervensi,” tandas Maming.
Menurut Mardani, pemerintah harus segera menerbitkan aturan yang melindungi penambang lokal dengan HPM yang memperhatikan biaya produksi dan juga harga acuan internasional.
“Pemerintah harus hadirkan jalan tengah. Caranya diatur HPM dipatok agar tak merugikan penambang dan smelter. Apalagi keadaan sekarang adanya dampak dari virus corona yang dampaknya luar biasa di negara-negara lain juga akan berpengaruh di Indoensia, dengan dampak ini dan nikel akan membuat susah rakyat di daerah,” ujar Mardani.
Lebih lanjut, dia menyatakan pihaknya menyambut baik rencana pemerintah yang telah menyepakati HPM bijih nikel sebesar US$30 metrik ton free on board (FoB) tongkang.
Data dari 30 perusahaan tambang, diperoleh angka rerata Harga Patokan Produksi (HPP) bijih nikel sebesar US$20,34 metrik ton sehingga di pasar domestik bijih nikel kadar 1,8 persen dihargai US$20 metrik ton. Hal itu dinilai akan membuat para penambang menanggung kerugian dan belum lagi biaya lain yang timbul dari proses ini.
Harga internasional saat ini bijih nikel 1,8 persen FoB Filipina dihargai antara US$59 wett metrik ton (wmt) hingga US$61 wmt, sehingga jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1,8 persen FoB sebesar US$38 wmt hingga US$40 wmt merupakan harga yang wajar.
“Kami tahu bersama setiap proses penambangan tak dapat dipastikan kadar ore yang diperoleh sehingga bila ore yang dapat memiliki kadar 1,7 persen, maka bisa dihitung berapa besar kerugian penambang. Maka tak heran, banyak penambang yang memilih menghentikan produksi,” jelas Mardani.
Dia meminta agar nikel dengan kadar 1,7 persen ke bawah yang sebelumnya dieskpor dapat diserap dan diterima oleh smelter. Hal ini mengingat kadar ini yang menjadi standar ekspor kemarin dan saat ini telah ditutup pemerintah.
Selain itu, penentuan kadar nikel juga seringkali menjadi sumber perdebatan. Pelaku usaha berharap pemerintah dapat hadir dengan menentukan surveyor resmi dan profesional agar dapat menghasilkan keputusan yang tepat dan benar.
“Kami usulkan ada 2 surveyor baik yang digunakan penambang maupun pemilik smelter. Ini penting mereka juga menentukan apakah kena pinalti atau tidak, nikel kadar 1,8 persen ini kalau kurang kadarnya 0,1 saja kena pinalti US$7 per ton sehingga perlu ada surveyor yang adil. Selama ini surveyornya hanya dari pihak pemilik smelter saja,” paparnya.
Mardani menambahkan pemerintah diharapkan memberikan dukungan kemudahan berusaha seperti mempermudah regulasi izin smelter dan pemberian kemudahan dukungan pembiayaan perbankan kepada pengusaha dalam negeri agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Senada dengan HIPMI, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) pun mendesak hal serupa.
Namun disisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menyatakan larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah atau di bawah 1,7 persen justru memicu para penambang banyak yang melakukan tambang ilegal.
Meidy menjelaskan, hal itu terlihat dari dibabatnya hutan-hutan lindung yang akibatnya sekarang lingkungan rusak dan terjadi banjir di tambang Sulawesi Tenggara.
“Blok PT Vale Indonesia yang lagi ramai dilelang saat ini sudah habis ditambang. Ini tidak bisa dipungkiri karena penambang mau hidup, banyak kewajiban,” ujarnya.
Agar dapat hidup, kata Meidy, para penambang harus mencari dan menjual nikel berkadar 1,9 pesen.
Ironisnya, Nikel yang berkadar 1,9 persen yang dikirim ke smelter, tetap saja ditolak oleh smelter karena hasil pemeriksaan surveyor yang ditunjuk disebut kadarnya di bawah 1,8 persen.
“Kalau hasil surveyor mereka menyebut kadar kita di bawah 1,6 persen, kami kena denda US$ 12 per metrik ton. Yang tadinya kami menerima bayar US$2,4 miliar untuk 1 tongkang, ternyata kami harus bayar US$1,4 miliar ke smelter untuk 1 tongkang,” jelas Meidy.
Meidy menegaskan selama ini APNI tak pernah menolak kebijakan larangan ekspor, tapi berharap ada keadilan bagi para penambang nikel. Smelter yang berdiri di Indonesia semula diharapkan dapat membuat para penambang nikel dapat hidup, tetapi faktanya justru terbalik, malah membuat penambang merugi.
Jika dibandingkan harga ekspor, lokal dan pajak di mana harga ekspor nikel berkadar 1,8 persen untuk free on board (FoB) sebesar US$ 60 per metrik ton. Lalu para penambang dikenakan kewajiban HPM untuk nikel 1,8 persen sebesar US$ 30 per metrik ton yang harus dilakukan sebelum kapal berlayar. Smelter menerima nikel berkadar 1,8 persen FoB sebesar US$ 18 per metrik ton.
Saat ini kontrak menggunakan Cost, Insurance and Freight (CIF). Pada Januari lalu kontrak CIF untuk nikel berkadar 1,8 persen di dua smelter raksasa sebesar US$ 26 per metrik ton. “US$ 26 per metrik ton ini untuk bayar biaya tongkang, biaya surveyor, biaya muat, bongkar, habis juga,” jelas Meidy.
Para smelter memberikan iming-imimg bonus untuk nikel yang kadarnya tinggi dan juga diberikan penalti atau denda apabila kadar nikel di bawah 1,8 persen. Seringkali nikel yang dikirim oleh penambang selalu ditolak karena berada di bawah ketentuan 1,8 persen.
“Smelter tak pernah menggunakan surveyor yang ditentukan Kementerian Perdagangan dan Kementerian ESDM. Kami bayar royalti, bayar kewajiban dan lain-lain menggunakan surveyor yang ditentukan pemerintah. Smelter pakai surveyor lain, ujung-ujung kadar kami di-reject,” tandasnya.
Sementara itu, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) mengaku akan segera menerbitkan peraturan mengenai tata niaga dan harga nikel di dalam negeri pada Maret 2020.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, peraturan itu bertujuan untuk mengakomodasi keinginan penambang dan smelter dalam transaksi nikel.
“Bentuknya Kepmen (Keputusan Menteri), karena ini kebutuhan yang harus segera diakomodir dari keinginan para penambang sekaligus membenahi tata kelola jual beli nikel,” ujarnya dalam diskusi itu.
Sedianya kata dia, peraturan itu akan terbit paling lambat akhir Maret 2020. Peraturan itu akan mengatur Harga Patokan Mineral (HPM) antara penambang dan smelter sehingga sesuai dengan perhitungan Harga Pokok Produksi (HPP) ore nikel.
Komisi VII Segera Bentuk Pansus Nikel
Merespon hal ini, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menegaskan pihaknya akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) tata niaga nikel domestik.
Pembentukan Pansus ini sebagai upaya DPR untuk meminimalisir adanya tekanan industri nikel dalam negeri.
“Ini layak dibentuk Pansus. Jangan-jangan terjadi abuse of power,” ujarnya di forum diskusi tersebut.
Menurut politisi Nasdem ini, ada inkonsistensi pemerintah karena adanya percepatan pelarangan ekspor ore nikel berkadar rendah.
Hal itu terlihatnya munculnya beleid yang tiba-tiba, yakni Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengatur percepatan pelarangan ekspor bijih nikel kadar rendah dimulai pada 1 Januari 2020.
Padahal, dalam Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 disebutkan ekspor nikel kadar rendah ditutup pada 11 Januari 2022.
“Di situ mulai inkonsistennya Pemerintah. Kami sempat melacak kenapa keluar Permen 11/2019, yang bertentangan dengan Permen 25/2018, yang mestinya ekspor itu sampai 11 Januari 2022, tiba-tiba ditorpedo di-cut off, jadi dipercepat ekspornya hanya boleh 31 Desember 2019,” jelas Sugeng.
Sugeng juga sempat mempertanyakan kemana Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian saat pelarangan ekspor nikel dipercepat.
“Kami sempet pertanyakan karena ini ranah ESDM dan Kemenperin tetapi yang muncul Kemenko Maritim dan Investasi,” ujarnya.
Karena itu, pihaknya mengusulkan agar pemerintah membuat domestic market obligation (DMO) ore nikel agar dapat terserap seluruhnya oleh smelter. (ATN)
,’;\;\’\’
Discussion about this post