ASIATODAY.ID, JAKARTA – Union Migrant (UNIMIG) Indonesia di Taiwan menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk serius memperhatikan nasib para pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal berbendera Taiwan.
Pasalnya, kasus perbudakan yang dialami ABK Indonesia di Kapal China Long Xing juga diduga terjadi di Kapal Taiwan.
“Di Taiwan pun ada masalah sejenis seperti di kapal China itu. Malah di Taiwan sempat terjadi kasus pembunuhan kapten kapal yang dilakukan oleh pekerja dari Indonesia, karena memang tingkat stresnya sudah sangat tinggi sekali,” jelas Program Manager Union Migrant (UNIMIG) Indonesia di Taiwan, Yuherina Gusman baru-baru ini.
Menurut Yuherina, umumnya para ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal berbendera Taiwan tidak memiliki tempat tinggal.
“Mereka tinggal di kapal atau di tempat-tempat umum seperti taman, atau saung-saung yang ada di dekat kapal mereka,” jelasnya.
Dikatakan, banyak diantara para ABK asal Indonesia yang tidak memiliki asuransi kesehatan. Padahal, kata dia, pekerjaan para ABK itu risikonya tinggi.
“Banyak akhirnya kabur dari Taiwan karena gajinya tidak terlalu besar, karena gajinya beda dengan tenaga kerja formal, mereka akan dihitungnya sebagai tenaga kerja informal dan yang mereka dapatkan juga belum tentu sesuai dengan yang dijanjikan,” jelasnya.
Umumnya kata dia, proses perekrutan para ABK asal Indonesia itu terjadi di pelabuhan-pelabuhan di Indonesia.
“Mereka dibawa ke kapal dan dibawa ke Taiwan dan alhasil gajinya tidak sesuai dengan yang diatur oleh perundang-perundangan. Jadi, kalau memang ke depannya pemerintah serius menanggapi hal ini, saya meminta teman-teman kami yang di Taiwan pun juga tolong diperhatikan, terutama bagian ABK,” imbuhnya.
Yuherina mengaku, pihaknya tidak mengetahui persis jumlah para ABK asal Indonesia di Kapal Taiwan.
“Namun yang pasti jumlahnya ribuan, di atas 10 ribu sepertinya ada, itu yang terdata, yang tidak terdata yang mereka datang langsung dari kapal misalkan pelabuhan Cirebon didatangkan ke Taiwan itu juga banyak dan mereka tidak terdata,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani meminta pemerintah memastikan keselamatan para Anak Buah Kapal (ABK) yang berada di atas kapal dan yang telah kembali. Termasuk pemenuhan hak-hak ABK yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia, seperti gaji, asuransi dan santunan.
Benny mengatakan, hebohnya video pelarungan ABK oleh Kapal China ke laut, menjadi momentum perbaikan tata kelola pekerja migran ABK.
“Selama ini memang belum ada ketegasan dalam pengaturan pembagian kewenangan tata kelola penempatan dan pelindungan ABK Perikanan, serta pihak-pihak yang berhak untuk melakukan penempatan,” ujar Benny.
Benny mengungkap, sejak 2018 hingga 6 Mei ada sebanyak 389 pengaduan terkait ABK selama setahun.
Lima jenis pengaduan terbesar ialah gaji yang tidak dibayar yakni 164 kasus, 47 kasus meninggal dunia di negara tujuan, kecelakaan sebanyak 46 kasus. Kemudian, 23 pengaduan yang ingin dipulangkan dan penahanan paspor atau dokumen lainnya oleh P3MI/manning agency sebanyak 18 kasus.
Sementara itu, pengaduan ABK terbanyak dibuat oleh para ABK Indonesia dengan negara penempatan Taiwan, 120 kasus. Korea Selatan, 42 kasus. Peru, 30 kasus, dan China, 23 kasus. Serta, Afrika Selatan sebanyak 16 kasus.
Dari total 389 kasus yang masuk ke BP2MI, sebanyak 213 kasus telah selesai ditangani atau 54,8 persen dan 176 kasus masih dalam proses penyelesaian.
“Kendala yang dihadapi untuk kasus ABK ini ialah belum adanya aturan turunan yang mengatur perlindungan secara khusus bagi PMI ABK. Di samping itu, data ABK sering tidak terdaftar di BP2MI, khususnya ABK yang memiliki risiko permasalahan yang tinggi,” tuturnya.
Menurut Benny, yang saat ini harus segera dilakukan yaitu penegasan kewenangan, tugas dan fungsi antar institusi yang menangani tata kelola penempatan dan pelindungan ABK Perikanan yang implementatif.
Kemudian, lanjut Benny, membangun database terpadu terintegrasi antar institusi terkait Kemenhub, Kemnaker, KKP, Kemlu, BP2MI, serta membentuk tim investigasi internal BP2MI dan sinergi koordinasi antar K/L untuk penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan pelanggaran HAM, tindak pidana bidang ketenagakerjaan dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Tak hanya itu, Benny mengatakan, perlu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tiga manning agency terhadap pelaku fisik, pengurus perusahaan, dan perusahaan, serta pemilik manfaat (beneficial owner) dengan dasar hukum yang digunakan pasal 87 UU 18/2017 tentang Pelindungan PMI dan pasal 13 UU 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kementerian Ketenagakerjaan, kata Benny, juga akan melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kepatuhan P3MI, serta penjatuhan sanksi. Hal ini merujuk pada UU 18/2017 pasal 19 (1) pasal 25 (3), pasal 27 (2), pasal 62) dalam hal manning agency Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK).
Menurut Benny, Kementerian Perhubungan juga perlu segera melaksanakan evaluasi kepatuhan dan jika ditemukan pelanggaran, perlu dijatuhkan hukuman berupa pencabutan SIUPPAK hal ini merujuk pada pasal 33 (2) Permenhub 84/2013 tentang Penempatan dan Perekrutan Awak Kapal.
BP2MI memprediksi kepulangan PMI dari berbagai negara penempatan, sesuai dengan masa kontrak PMI yang habis pada bulan Mei sampai Juni sebanyak 34.300 PMI.
Benny merinci, dari total tersebut yang bekerja di berbagai negara penempatan Malaysia sebanyak 13.074, Hongkong 11.359, Taiwan 3.688, Singapura 2.611, Arab Saudi 807, Brunei 770, Korea Selatan 325, Kuwait 304, Italia 219, Oman 173, dan lain-lain.
“PMI tersebut berasal dari berbagai provinsi seperti Jawa Timur 8.913, Jawa Tengah 7.436, Jawa Barat 5.832, Nusa Tenggara Barat 4.202, Sumatera Utara 2.878, Lampung 1.814, Bali 513, Kalimantan Barat 300, Nusa Tenggara Timur 293, Banten 274, dan beberapa provinsi lainnya,” jelasnya.
Susi Pudjiastuti Sedih
Sementara itu, Menteri Perikanan dan Kelautan (KKP) Republik Indonesia periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti terlihat sedih ketika membaca pesan melalui direct message (DM) twitternya @susipudjiastuti; pada hari ini, Kamis (14/5/2020).
Pesan tersebut mengungkapkan nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di kapal Taiwan.
Dalam pesan tersebut, seorang warga memintanya untuk menghentikan pengiriman TKI ke Taiwan.
Selain itu, warga itu memintanya untuk mengaudit seluruh perusahaan yang menyalurkan TKI ke Taiwan.
Selain tidak adanya kejelasan nasib para TKI, mereka yang hendak berangkat ke Taiwan katanya diminat untuk membayarkan uang dengan besaran yang tidak masuk akal. Sedangkan bagi mereka yang berangkat sebagai ABK dikatakan tanpa biaya.
Hanya saja, biaya yang sebelumnya dibebankan di awal keberangkatan pada buruh pabrik justru dibebankan ketika ABK bekerja.
Mereka katanya dipotong gajinya setiap bulan tanpa ada ketentuan yang jelas dari pihak Taiwan.
“Bu Susi tolong bu pengiriman ABK kapal ke Taiwan dihentikan jangan pernah diberi izin dan audit semua PT yang memberangkatkan TKI dan TKW ke taiwan karena biaya yang dikeluarkan TKI untuk bisa kerja di pabrik Taiwan terlalu besar 40 juta-60 juta sangat tidak masuk akal bu, kalau untuk ABK kapal itu biasa gratis tapi masih potong gaji dan tanpa persyaratan.. Terima kasih bu Susi sehat selalu,” demikian bunyi pesan tersebut.
Terkait pesan tersebut, Susi Pudjiastuti tidak banyak berkomentar.
“DM saya terima hari ini!,” tulis Susi Pudjiastuti. (ATN)
Discussion about this post