ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pandemi global coronavirus (Covid-19) menimbulkan dampak besar di seluruh industri termasuk industri energi.
Perusahaan minyak terbesar di dunia seperti Saudi Aramco, bahkan harus memutar otak untuk melakukan perubahan besar pada kinerja perusahaan.
Jatuhnya harga minyak yang sangat dalam pada tahun ini, cukup membebani raksasa minyak asal Arab Saudi tersebut. Apalagi, perusahaan hanya mengandalkan penjualan minyak mentah untuk menghasilkan dolar agar bisa membayar dividen kepada investor dan pemerintah.
Saat ini, Saudi Aramco terpaksa harus melakukan sesuatu hal yang dahulu tidak terpikirkan, seperti dengan menunda kerjasama, bahkan menjual aset.
Contoh pertama di blok tersebut adalah rencananya untuk membangun jaringan kilang di pasar terbesar dunia dalam upaya untuk mengekstraksi lebih banyak nilai dari setiap barel minyak mentah yang dipompakannya.
Kesepakatan untuk memasuki bisnis penyulingan minyak di Asia yakni China dan India dengan dua konsumen energi terbesar dunia tampaknya telah ditunda dalam beberapa pekan terakhir.
Pada hari Rabu, laporan media menyatakan bahwa Aramco juga akan menunda perluasan kilang utama di Amerika Serikat.
“Bisa dibilang saat ini sedang ada evaluasi ulang atas segala sesuatunya,” kata salah satu sumber Aramco dilansir dari CNN, Sabtu (5/9/2020).
Penataan kembali prioritas dapat memiliki konsekuensi jangka panjang bagi perusahaan dan kerajaan Saudi. Mengingat beberapa proyek memiliki tingkat sensitif yang tinggi.
“Selalu ada politik yang terlibat,” kata Direktur Pelaksana Time Tengah di Facts Global Energy Iman Nasseri.
Masalah besar bagi Aramco adalah prospek harga minyak dengan minyak mentah berjangka Brent, patokan global, masih 33 persen lebih rendah dari awal tahun. Antara April dan Juni, laba bersih Aramco anjlok lebih dari 73 persen menjadi USD6,6 miliar atau Rp88,5 triliun karena kebijakan lockdown sehingga mengurangi permintaan.
CEO Amin Nasser mengatakan bulan lalu bahwa ketika ekonomi mulai dibuka kembali, permintaan mengalami pemulihan parsial. Sementara beberapa di industri secara terbuka mempertanyakan apakah permintaan minyak global telah mencapai puncaknya.
Jim Burkhard, kepala pasar minyak di IHS Markit, baru-baru ini mengatakan kepada klien bahwa permintaan tidak akan mencapai seperti sebelum terjadinya pandemi hingga setidaknya akhir kuartal pertama 2021.
“Untuk permintaan kembali sepenuhnya, perjalanan – terutama perjalanan udara dan perjalanan ke tempat kerja – perlu kembali normal. Dan itu tidak akan terjadi sampai ada penahanan virus dan vaksin yang efektif,” jelasnya.
Latar belakang ini sangat bermasalah bagi Aramco karena dibebani dengan USD75 miliar atau Rp1.106 triliun dividen tahunan untuk lima tahun ke depan.Sementara untuk BP dan Shell (RDSA) telah memangkas dividen mereka untuk membantu menghemat uang, tapi hal tersebut tidak dilakukan oleh Aramco.
“Di luar dividen, saham terlihat sangat mahal. Jika mereka ingin menarik lebih banyak investor ke perusahaan, saya pikir dividen harus tetap pada level saat ini,” kata Anish Kapadia, direktur energi di Palissy Advisors, sebuah firma penasihat investasi yang berbasis di London. (ATN)
Discussion about this post