ASIATODAY.ID, JAKARTA – Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) mendorong keterbukaan pengelolaan sumber daya minyak, gas, batubara dan mineral di Indonesia agar transparan dan akuntabel.
Salah satunya dengan menerapkan prinsip keterbukaan informasi Beneficial Ownership (BO) atau pemilik manfaat.
Indonesia telah mengatur pembukaan informasi BO melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
“Pembukaan informasi BO semakin menjadi perhatian global. Standar internasional tentang transparansi keuangan dan standar di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme menegaskan pengaturan dan mekanisme untuk mengenali pemilik manfaat dari suatu korporasi guna memperoleh informasi mengenai pemilik manfaat yang akurat, terkini, dan tersedia untuk umum,” ujar Staf Ahli Menteri ESDM bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Sampe L. Purba, pada Webinar Transparansi Beneficial Ownership: Mengapa Penting bagi Perusahaan Ekstraktif, Selasa (14/12/2021).
Pemerintah saat ini telah mengembangkan sistem pendataan kepemilikan manfaat, salah satunya adalah milik Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengatur pendaftaran BO untuk perusahaan secara umum.
Kementerian ESDM juga memiliki aplikasi data BO dari perusahaan pertambangan yang terintegrasi dengan aplikasi BO milik Kementerian Hukum dan HAM.
“Aplikasi ini diharapkan secara efektif dan efisien dapat mendorong kepatuhan dan membantu korporasi mencapai tujuan akuntabilitas yang lebih baik, pada industri ekstraktif migas dan pertambangan,” imbuh Sampe.
Tersedianya informasi BO dapat memudahkan perusahaan untuk bernegosiasi bisnis dengan lebih transparan. Selain itu, dapat membantu perusahaan melakukan due diligence investasi bisnis dengan biaya lebih rendah.
“Sebaliknya, tidak tersedianya informasi beneficial owner dapat menimbulkan masalah bagi perusahaan. Hal ini karena, ketiadaan informasi tersebut menyebabkan keterbatasan informasi dengan siapa perusahaan akan berbisnis. Belum banyak perusahaan yang menyadari bagaimana pengungkapan Beneficial Owner dapat mendukung level playing field dalam berbisnis untuk semua perusahaan dengan mengetahui dengan siapa mereka berbisnis.Tidak semua perusahaan juga menyadari bahwa transparansi tentang pemilik sebenarnya dapat mengurangi risiko reputasi dan keuangan,” ungkap Sampe.
Pada closing remarks, Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi menegaskan, bahwa pengelolaan sumber daya alam pada industri ekstraktif di Indonesia bisa dipertanggungjawabkan.
Saat ini era digital, di mana seluruh data dan informasi semakin transparan.
“Intinya semakin transparan, karena kita tidak bisa sembunyi, jejak digital sudah tidak bisa kita hapus, apapun walaupun kita sembunyikan, apapun yang ditutup-tutupi akan membuat orang curiga. Dalam forum ini mari kita tunjukkan kepada publik bahwa pengelolaan SDA, industri ekstraktif bisa dipertanggungjawabkan. Karena kita, mengelola barang Tuhan yang harus kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan dan kita tanggungjawabkan kepada masyarakat dan generasi penerus kita ke depan,” pungkas Agus.
Webinar ini dihadiri oleh para pelaku industri ekstraktif, mulai dari perusahaan hingga koperasi. Hadir sebagai narasumber adalah BP Tangguh Hardi Hanafiah, PT Freeport Indonesia Mukhlis Ishak, KUD SUPPME Yahya Suffyan, serta Open Ownership Stephen Abbott.
Kemudian hadir pula sebagai penanggap adalah Direktur Perdata Kementerian Hukum dan HAM Santun Maspari Siregar, Analis Eksekutif Senior Grup Penanganan APU PPT OJK Marlina Efrida, dan Direktur Hukum PPATK Fithriadi Muslim. (ATN)
Discussion about this post