ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pertemuan Kelompok 20 (G20) gagal menghasilkan konsensus mengenai Rusia-Ukraina, karena China bergabung dengan Rusia menolak tuntutan agar Moskow menghentikan perang.
Saat pertemuan para menteri luar negeri (Menlu) G20, China dan Rusia tidak menyetujui pernyataan yang menuntut Moskow untuk menarik diri sepenuhnya dan tanpa syarat dari wilayah Ukraina.
Laporan Aljazeera pada Jumat (3/3/2023), Menteri Luar Negeri (Menlu) India Subrahmanyam Jaishankar mengatakan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang tidak dapat didamaikan karena berbagai pihak memiliki pandangan-pandangan yang berbeda.
Subrahmanyam mengatakan anggota G20 sepakat pada sebagian besar isu-isu yang melibatkan keprihatinan negara-negara kurang berkembang seperti memperkuat multilateralisme, mempromosikan ketahanan pangan dan energi, perubahan iklim, isu-isu gender dan kontraterorisme.
Dalam sebuah pidato video kepada menlu yang hadir, Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi mendesak para anggota untuk tidak membiarkan ketegangan terjadi saat ini. Alasannya, karena bisa menghancurkan kesepakatan-kesepakatan yang mungkin telah dicapai dalam hal ketahanan pangan dan energi, perubahan iklim dan hutang.
“Tuan Lavrov, hentikan perang ini, hentikan pelanggaran tatanan internasional kita, hentikan pengeboman kota-kota dan warga sipil Ukraina,” kata Menlu Jerman Annalena Baerbock.
Tak terima dengan ungkapan tersebut, Lavrov membalas dengan menuduh negara-negara Barat munafik karena mereka telah memompa Ukraina dengan senjata selama bertahun-tahun.
Adapun, Menlu AS Antony Blinken berbicara kepada Sergei Lavrov untuk mengakhiri perang dan mendesak Moskow untuk membalikkan penangguhan perjanjian nuklir New START.
Dilansir dari Reuters pada Kamis (2/3/2023), pembicaraan antar keduanya tidak berlangsung lama karena hanya memanfaatkan waktu selama kurang dari 10 menit di akhir sesi tertutup.
“Saya mengatakan kepada menteri luar negeri apa pun yang terjadi di dunia atau dalam hubungan kita, Amerika Serikat akan selalu siap untuk terlibat dan bertindak dalam pengendalian senjata strategis, seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet bahkan pada puncak Perang Dingin,” kata Antony. (ATN)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post