ASIATODAY.ID, JAKARTA – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporan terbarunya yang diterbitkan pada Jumat (3/3/2023), menyebutkan bahwa militer Myanmar menciptakan krisis Hak Asasi Manusia (HAM) abadi di negara Asia Tenggara itu dan menyerukan segera diakhirinya kekerasan.
Sejak junta merebut kekuasaan dua tahun lalu, Myanmar terjerumus ke dalam kekacauan, gerakan melawan militer di berbagai bidang setelah penumpasan berdarah yang membuat negara-negara Barat memberlakukan kembali sanksi terhadap junta militer.
Laporan tersebut, yang mendokumentasikan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia antara 1 Februari 2022 dan 31 Januari 2023, menemukan bahwa kekerasan telah meningkat di Myanmar bagian Barat Laut dan Tenggara karena “serangan udara dan penembakan artileri tanpa pandang bulu, pembakaran massal desa-desa hingga menggusur penduduk sipil, serta penolakan akses kemanusiaan.”
Taktik yang digunakan oleh militer, menurut laporan itu, dirancang untuk memotong akses kelompok bersenjata terhadap makanan, keuangan, intelijen, dan rekrutmen.
“Militer, yang diperkuat oleh impunitas terus menerus dan mutlak, secara konsisten menunjukkan pengabaian terhadap kewajiban dan prinsip internasional,” kata Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk, dalam sebuah pernyataan.
“Tindakan nyata dan mendesak diperlukan untuk mengakhiri bencana yang membusuk ini.”
Pihak berwenang Myanmar tidak segera menanggapi laporan PBB tersebut. Junta sebelumnya mengatakan memiliki kewajiban untuk memastikan perdamaian dan keamanan, serta membantah kekejaman telah terjadi, dan mengklaim sedang melakukan kampanye yang sah melawan teroris.
James Rodehaver, Ketua Tim Myanmar dari Kantor Hak Asasi Manusia PBB, mengatakan bahwa bentrokan bersenjata terjadi di sekitar 77 persen wilayah negara tersebut.
“Tidak pernah ada waktu dan situasi krisis di Myanmar telah mencapai sejauh ini, seluas ini di seluruh negeri,” katanya dalam pengarahan di Jenewa.
Dalam rekomendasinya, laporan tersebut meminta pihak berwenang di Myanmar untuk mengakhiri kekerasan dan berhenti menganiaya lawan.
“Operasi militer harus dihentikan untuk memberikan ruang dialog yang dapat mengakhiri krisis ini,” tulis laporan itu. (AT Network)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post