ASIATODAY.ID, JAKARTA – Greenpeace Indonesia, organisasi pemerhati lingkungan memprotes langkah pemerintah dalam mengatasi polusi udara yang terjadi di wilayah DKI Jakarta. Pasalnya, hingga kini belum ada langkah signifikan untuk menekan krisis udara bersih ini.
Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengungkapkan, pecemaran udara tidak bisa dianggap sepele karena efeknya sangat membahayakan kesehatan manusia, bahkan yang terburuk bisa meninggal dunia.
“Dampaknya bisa langsung berpengaruh pada kesehatan, mulai dari mata, tenggorokan dan pernafasan,” terangnya, Rabu (31/7/2019).
Menurut dia, yang paling mengerikan, ketika polusi terhirup melalui pernapasan.
“Sekali kita hirup atau terpapar, polusinya akan bertahan di tubuh kita, tergantung mengendap di mana. Kalau mengendap di peredaran darah katakanlah arteri, itu bisa menyebabkan stroke, kalau terpapar PM 2,5 dalam jumlah yang tinggi dalam waktu yang sangat lama maka mungkin potensi stroke akan sangat tinggi. Kemudian jantung juga, dan lainnya,” paparnya.
Berdasarkan data Air Visual dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kualitas udara di Jakarta dalam sebulan terakhir ini memang tidak menunjukkan perbaikan. Itu menggambarkan begitu banyak polutan yang dihirup warga Ibu Kota setiap hari.
“Mestinya ini harus segera diatasi jika tidak, maka dampaknya akan sangat membahayakan masyarakat,” imbuh Bondan.
Berdasarkan pantauan Greenpeace Indonesia, ada beberapa stasiun pantau di DKI Jakarta yang mengukur PM 2,5 (partikular udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5), di beberapa titik tergolong sudah tidak sehat, tapi tidak ada upaya yang dilakukan pemerintah minimal mengumumkan udara saat ini sedang tidak sehat dan apa yang harus dilakukan.
Dikatakan, beberapa daerah yang terpapar polutan di antaranya adalah kawasan pusat kota yang dipasangi stasiun pemantau udara seperti di daerah Senayan, Blok M dan Monas yang pada bulan ini sebagian besar parameter angka polusi udaranya sudah sangat tinggi.
“Sewaktu Car Free Day (28/7/2019), kita temukan itu angka PM 2,5 nya itu di atas 100 mikron gram/m3 artinya ini sudah tidak sehat. Memang kondisinya berubah setiap jam, tapi minimal diberikan imbauan apa yang harus dilakukan masyarakat. Harusnya ada warning atau minimal edukasi, ketika angkanya 100 mikron gram/m3 itu, perlu ada penyampaian kepada masyarakat terkait bahaya dan dampaknya sehingga masyarakat bisa melindungi dirinya sejak dini,” tandasnya.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengaku tengah menyiapkan sebuah langkah teknis, sebagai solusi atas buruknya udara di Ibukota. Namun ia enggan menjelaskan lebih detail ihwal cara-cara apa yang akan dilakukan dalam mengurangi polusi.
“Kita sedang menyiapkan solusi nanti saya umumkan sesudah lengkap,” kata Anies di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (31/7/2019).
Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu menuturkan, pihaknya sedang mencari sumber utama datangnya masalah tersebut. Nantinya, ketika sudah ditemukan maka akan ditelurkan sebuah kebijakan untuk menurunkan tingkat polusi.
“Ujungnya pada pengurangan di sumber-sumber dan itu menyangkut pada masalah lalu lintas,” imbuhnya.
Seperti diketahui, Indeks kualitas udara atau US Air Quality Index (AQI) masih menetapkan udara Ibu Kota Jakarta berkualitas tidak sehat. Pada Rabu (31/7/2019), udara Jakarta tercatat di angka 155 dengan konsentrasi parameter PM2.5 sebesar 63,5 ug/m3.
Dari beberapa wilayah di DKI Jakarta, Rawamangun, Jakarta Timur, tercatat paling buruk. Merujuk laman resmi AirVisual, kualitas udara Rawamangun berada di angka 166 dengan konsentrasi parameter PM2.5 sebesar 85,1 ug/m3. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post