JAKARTA, ASIATODAY.ID – Indonesia disebut sebagai penyumbang limbah makanan yang terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi (sekitar 13 juta ton limbah makanan per tahun dan 300 kilogram limbah makanan per orang).
Pernyataan mengejutkan itu disampaikan pengamat energi dan lingkungan Satya Hangga Yudha Widya Putra, B.A. (Hons), MSc dalam At America X Young Changemakers Social Enterprise Academy X Tanipanen yang berjudul bertajuk Food Waste Battle: Why Do We Throw Away Perfectly Good Food? Di Jakarta, Jumat (4/10/2019).
“Sebanyak 13 juta ton limbah makanan sebenarnya bisa memenuhi kebutuhuhan pangan 28 juta orang yang hidup dalam kemiskinan di Indonesia,” kata Hangga.
Tidak hanya soal bahan makanan yang mubazir, menurut, Hangga limbah makanan juga berdampak pada kenaikkan emisi gas metana.
“Ini tipe gas rumah kaca yang 21 kali lipat lebih kuat dan beracun daripada karbon dioksida,” kata Hangga.
Menurut Hangga, gas metana yang dihasilkan limbah makanan ini berdampak pada lingkungan. “Gas metana akan memperburuk pemanasan global dan konsekuensi negatifnya yaitu perubahan iklim,” ujarnya.
Menurut Hangga yang juga Pendiri Energy and Environmental Institute (IE2I), masyarakat perlu mendapatkan edukasi lebih lanjut akan limbah organik dan isu perubahan iklim yang akan berdampak pada kehidupan ke depannya.
“Sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah edukasi akan limbah, tapi limbah makanan perlu diedukasi lebih lanjut di tingkat SD, SMP, SMA karena ini hal yang cukup sederhana. Sebenarnya isu ini sudah disentuh oleh sekolah tapi tidak terlalu dalam,” kata Hangga.
Upaya pemerintah, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang berwenang akan masalah limbah, sudah cukup bagus.
Namun menurut Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rumah Millennials itu, diperlukan pemahaman lebih lanjut tentang limbah, baik organik dan anorganik, serta dampaknya terhadap lingkungan hidup dan perubahan iklim yang menjadi perhatian banyak negara saat ini.
Kurangnya edukasi mendalam akan limbah mungkin menjadi salah satu alasan masih banyak orang belum mengetahui dampaknya akan perubahan iklim.
“Padahal, gas metana yang dihasilkan oleh sisa makanan yang bercampur di tempat pembuangan akhir sangat berdampak terhadap pemanasan global yang ikut menyumbang perubahan iklim,” ujarnya.
Di Indonesia sendiri, kata Hangga, kesadaran akan limbah organik berpengaruh terhadap perubahan iklim sendiri masih belum terlalu besar.
Sebagai negara kedua yang paling banyak membuang makanan, kata Hangga, Indonesia seharusnya sudah mulai mengambil langkah nyata untuk membuat masyarakat menghentikan kebiasaan pemborosan pangan.
“Pemanasan global disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh berbagai sektor, tapi karena di Indonesia kenaikan itu disebabkan oleh sektor kehutanan, energi dan industri, maka lebih banyak fokus di bidang tersebut dibanding limbah,” ujarnya.
Indonesia ikut meratifikasi Perjanjian Paris pada 2015 yang menegaskan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi demi menahan laju peningkatan temperatur global dan membatasi dampak perubahan iklim secara keseluruhan.
,’;\;\’\’
Discussion about this post