ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia berpotensi meraih pendapatan senilai Rp62 triliun dari hilirisasi bauksit.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengungkapkan hal itu sebagai respon atas kebijakan Presiden Jokowi melarang ekspor bauksit mulai tahun depan.
Menurut Fahmy, tujuan Presiden Jokowi melarang ekspor bauksit untuk meningkatkan nilai tambah, lapangan kerja baru, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Di luar ketiga tujuan ini, perlarangan ekspor tersebut sesungguhnya untuk mengoptimalkan hasil kekayaan alam sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai amanah pasal 33 UUD 1945.
“Jangka pendek, larangan ekspor bauksit itu akan menurunkan pendapatan ekspor hingga mencapai sebesar Rp 21 triliun per tahun. Namun, jangka panjang, seiring dengan meningkatnya nilai tambah, ekspor hasil hilirisasi dan produk turunan bauksit, akan meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp 62 triliun per tahun,” kata Fahmy dikutip dari keterangannya, Sabtu (24/12/2022).
Fahmy menyadari, memang tidak mudah untuk memperoleh tambahan pendapatan sebesar itu melalui larangan ekspor bauksit. Masih ada berbagai tantangan dan penentagan. Salah satu tantangan itu adalah kapasitas smelter yang masih sangat terbatas untuk hilirisasi seluruh hasil bijih bauksit.
Namun, larangan ekspor bauksit akan memaksa pengusaha bauksit untuk membangun smelter, baik dilakukan oleh setiap perusahaan, maupun oleh kosorsium perusahaan dan joint venture dengan investor smelter.
Untuk itu, pemerintah harus memberikan fiscal incentive berupa tax holiday, tax allowances, dan bebas pajak impor untuk peralatan smelter.
“Sedangkan, penentangan dari WTO harus dilawan meskipun ujung-ujungnya akan kalah. Namun, proses persidangan gugatan WTO sampai keputusan final butuh waktu sekitar 4 tahun. Selama 4 tahun larangan ekspor bauksit harus tetap dilakukan hingga menghasilkan ekosistem industri bauksit dari biji bauksit dan produk hilirisasi hingga produk turunan, berupa: alumunia sebagai bahan baku industri mesin dan semikonductor. Produk turunan itu akan memberikan nilai tambah lebih besar ketimbang ekspor bijih bauksit. Maka perlu maju tak gentar meningkatkan pendapatan negara,” tegasnya.
Berkaca dari larangan ekspor bijih nikel yang akhirnya menuai gugatan dari World Trade Organization (WTO), Fahmy mengungkapkan bahwa, sebenarnya UU No. 4/2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batu Bara sudah mengamanahkan untuk melarang ekspor hasil tambang dan mineral tanpa dihilirisasi di dalam negeri paling lambat pada 2014.
Namun, adanya penentangan dahsyat dari perusahaan tambang, utamanya dari Freeport yang disertai acaman diadukan ke WTO, Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu mengundur pemberlakukan larangan ekspor tersebut.
“Baru sekarang Presiden Jokowi berani melarang ekspor bijih nikel dan bauksit,” tandasnya. (ATN)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post