ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berharap produsen mobil listrik Amerika Serikat, Tesla, serius berminat untuk berinvestasi di industri mobil listrik.
Saat ini baru Hyundai yang serius ingin memproduksi mobil listrik murni di Indonesia.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Taufiek Bawazier mengatakan kehadiran Tesla diharapkan dapat mendukung pengembangan mobil listrik di Indonesia.
“Kami coba bangun pabrik baterai listriknya di Indonesia agar nanti muncul OEM mobil listrik di Indonesia. Saat ini sudah ada investasi, Hyundai dan nanti berikutnya kami berharap Tesla masuk di Batang sebab katanya Tesla berminat,” terang Taufiek dikutip Sabtu (14/11/2020).
Bulan lalu Tesla disebut Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) telah menghubungi secara informal menteri Luhut Binsar Pandjaitan untuk penjajakan investasi.
Komunikasi itu bukan yang pertama. Pada Oktober 2019 perwakilan Tesla telah bertemu Luhut bersama Menteri Perdagangan AS Wilbus Ross. Selain Tesla perwakilan Bolkswagen, Mercedes-Benz, dan BMW juga datang bersamaan membahas investasi baterai di Indonesia.
Pendiri Tesla, Elon Musk, juga pernah memuji Indonesia pada Juli sebagai negara penghasil nikel, bahan baku baterai kendaraan listrik. Saat ini Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia.
Sejauh ini Tesla belum mengungkap secara resmi rencana investasi mereka di Indonesia. Menurut pemerintah, Tesla berminat mendirikan pabrik di Batang, Jawa Tengah, namun belum jelas apakah untuk kebutuhan produksi mobil atau pembuatan baterai dan industri pendukung lain.
Saat ini investasi produksi mobil listrik baru Hyundai yang siap melakukannya di pabrik baru di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat pada 2022. Pabrik itu bakal beroperasi mulai tahun depan dengan target memproduksi mobil konvensional lebih dulu.
Regulasi Siap
Taufiek Bawazier menyampaikan, pemerintah terus memacu penerapan teknologi dan peningkatan investasi di sektor otomotif nasional, termasuk mengakselerasi pengembangan kendaraan listrik roda dua, tiga, serta roda empat atau lebih yang berbasis baterai listrik maupun mild hybrid dan strong hybrid.
“Saat ini, kami telah merampungkan regulasi terkait peta jalan kendaraan listrik berbasis baterai listrik yang merupakan turunan Perpres 55/2019,” jelasnya.
Taufiek menjelaskan, potensi pengembangan kendaraan listrik juga membuka prospek bisnis baru, seperti pengembangan kendaraan jenis Internal Combustion Engine (ICE) yang saat ini masih memberikan kontribusi hingga 99 persen terhadap PDB industri otomotif nasional.
“Pada tahun 2025 nanti, ditargetkan sebesar 20 persen produksi otomotif nasional adalah kendaraan listrik seperti hybrid, plug in hybrid, dan mobil EV berbasis baterai,” sebutnya.
Menurut Taufiek, pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai sejalan dengan animo investasi baterai listrik dan kendaraan listrik yang semakin meningkat di Indonesia. Hal ini mengingat bahan baku nikel, cobalt dan mangan cukup melimpah di tanah air yang bisa menjadi tulang punggung dalam upaya pengembangan kendaraan listrik.
Selain itu, pendalaman struktur industri kendaraan listrik telah dipersyaratkan nilai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) hingga tahun 2030 dengan program Incompletely Knock Down (IKD) atau Completely Knock Down (CKD) yang dipacu untuk mendapatkan nilai tambah yang maksimal di dalam negeri.
“Secara bertahap kita memguasai baterai listrik, dan produksi kendaraan listrik di dalam negeri,” imbuhnya.
Plt. Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Ditjen ILMATE Kemenperin, Restu Yuni Widayati mengatakan, industri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai dapat dimulai dari industri sepeda motor listrik.
Hal ini didukung oleh nilai investasi awal yang relatif rendah dengan tenaga kerja yang minimal, serta pangsa pasar produk sepeda motor listrik di Indonesia relatif cukup besar karena produk sepeda motor listrik mampu bersaing dengan produk sepeda motor konvensional dari sisi “total cost of ownership”.
Saat ini, telah terdapat 15 industri perakitan sepeda motor listrik yang telah mendapatkan Nomor Identifikasi Kendaraan (NIK) dari Kemenperin sebagai salah satu syarat suatu perusahaan dapat memproduksi kendaraan bermotor, dengan kapasitas produksi sepeda motor listrik sebesar 877 ribu unit per tahun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 1.429 orang.
“Sedikit berbeda dengan industri roda empat atau lebih yang membutuhkan investasi awal yang cukup besar dan tenaga kerja yang cukup banyak sehingga sampai saat ini hanya PT. Mobil Anak Bangsa (MAB) yang telah memiliki fasilitas produksi bis listrik di Indonesia dengan kapasitas produksi 100 unit per bulan atau 1.200 unit per tahun,” ungkapnya.
Restu menambahkan, pengembangan kendaraan listrik di Indonesia selain bertujuan untuk mendukung pencapaian target pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% pada tahun 2030, juga akan mampu menarik investasi di sektor industri komponen dan lainnya.
Pengembangan baterai listrik
Sementara itu, Direktur Industri Logam Ditjen ILMATE Kemenperin, Budi Susanto mengemukakan, pihaknya terus mendorong investasi di sektor pengembangan baterai untuk kendaraan listrik.
Investasi ini merupakan langkah strategis sehingga dapat membantu mewujudkan Indonesia sebagai salah satu pemain utama dalam sektor industri kendaraan listrik (electric vehicle).
“Kemampuan penguasaan teknologi baterai dan keuntungan bahwa Indonesia memiliki sumber bahan baku penyusun baterai lhitium seperti nikel, cobalt, mangan, alumunium dan ferrum yang cukup melimpah merupakan kunci utama bagi Indonesia untuk menciptakan keunggulan yang kompetitif dibandingkan dengan negara-negara produsen kendaraan listrik lainnya,” papar Budi.
Taufiek Bawazier menyatakan, usia baterai listrik bisa mencapai 10-15 tahun. Artinya, sepuluh tahun ke depan perlu dipersiapkan fasilitas recycling (daur ulang) untuk memperoleh nilai tambah baru baik berupa material di dalamnya seperti lithium, nikel, cobalt, mangan dan copper.
Selain itu, menurut Taufiek, penguasaan teknologi recycling perlu dipikirkan dari sekarang seperti hydrometalurgi dan juga penggunaan teknologi AI dan robotik termasuk skill baru dalam pemrosesan baterai listrik.
Baterai listrik terdiri dari cell, modul dan pack yang masing masing diikat kuat oleh perekat yang membutuhkan keahlian khusus mengingat prasarat safety dan treatment baterai listrik berbeda dengan treatment baterai non-lithium.
“Setiap cell atau modul, dan pack berbeda bentuk, ada yang silinder atau prismatik. Semuanya berbeda tipe di setiap mobil listrik,” tuturnya.
Dengan demikian mengingat kompleksitas proses daur ulang baterai listrik, diperlukan penggunaan teknologi modern dalam proses tersebut.
“AI dan robotik menjadi diperlukan untuk mengurangi kesalahan dalam proses daur ulang sehingga potensi kecelakaan menjadi berkurang,” ujarnya.
Selain itu, menurut Taufiek, proses daur ulang dapat meningkatkan pemanfaatan material, baik lithium dan mangan yang berupa carbonat dan nikel serta cobalt berupa sulfat yang dapat diperoleh dengan maksimal sehingga proses circular ekonominya mencapai titik optimal.
“Namun demikian, yang terpenting adalah mobil listrik dan baterai listrik dapat diproduksi di dalam negeri. Investasi ke arah sana tentunya dipersiapkan untuk membuka tenaga kerja dengan skill yang baru dan meningkatkan hilirisasi sumber daya alam nasional berupa nikel, cobalt, maupun mangan,” tegasnya. (AT Network)
Discussion about this post