ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia membutuhkan investasi yang tidak kecil dalam upaya menekan emisi karbon di sektor energi.
Menurut Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, Indonesia membutuhkan setidaknya investasi hingga Rp3.500 triliun untuk mencapai target net zero emission di sektor energi.
“Di sektor energi, kita bisa menurunkan 3 per 4 atau 450 juta ton ekuivalen CO2. Investasi yang dibutuhkan untuk menurunkan emisi karbon itu mencapai Rp3.500 triliun,” jelas Sri Mulyani di Forum Pertamina Energy Webinar 2021, Selasa (7/12/2021).
Menkeu Sri Mulyani menyatakan komitmen untuk berpartisipasi dalam mitigasi perubahan iklim merupakan komitmen bersama seluruh negara di dunia. Dalam konteks ini, Indonesia sudah menyampaikan dalam National Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan 29% CO2 dengan kemampuan sendiri dan 41% CO2 dengan dukungan internasional, serta berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060.
“Tanggung jawabnya adalah common sama semuanya. Tanggung jawabnya untuk menghindarkan climate change tapi dari sisi diferensiasi untuk responsibility berbeda tergantung dari kontribusi terhadap CO2 selama ini,” ungkapnya.
Untuk itu, dari sisi Pemerintah terutama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memiliki tanggung jawab untuk mendesain dan mendefinisikan kebijakan dan regulasi bersama-sama dengan Kementerian/Lembaga lain.
Pertama, dengan memperkenalkan budget tagging dari APBN yang berasosiasi dengan perubahan iklim.
“Sehingga kita bisa transparan dan akuntabel, berapa sebetulnya belanja pemerintah atau bagian dari pemerintah, dari sisi fiskal yang committed to climate change,” ungkap Menkeu.
Dalam kesempatan tersebut, Menkeu berharap Pertamina sebagai perusahaan milik negara yang terbesar dalam bidang energi juga melakukan hal yang sama untuk melaksanakan budget tagging. Hal ini dikarenakan sektor energi memiliki peranan dan tanggung jawab untuk menurunkan CO2.
“Energi adalah sektor yang very expensive and costly, tapi juga sangat penting bagi rakyat dan peranannya untuk menurunkan CO2 adalah the second largest in our economy. Jadi dalam hal ini Pertamina bisa membayangkan your responsibility is so obvious,” tandas Menkeu.
Kedua, membangun kerangka fiskal yang berelasi atau didesai untuk perubahan iklim.
Tidak hanya dari sisi belanja, bisa juga melalui perpajakan dengan bentuk insentif dan subsidi maupun dari sisi pembiayaan.
Menkeu mengatakan dalam hal ini Pemerintah Daerah juga memiliki peranan untuk menurunkan CO2.
“Jangan lupa untuk penurunan CO2 juga termasuk manajemen dari waste atau persampahan dan itu peranan pemerintah daerah penting. Jadi kami menggunakan tools transfer ke daerah,” ungkap Menkeu.
Ketiga, dengan investasi. Pemerintah memberikan injeksi PMN ke PLN atau investasi pada PT SMI dan PT PII untuk mereka bisa melakukan penjaminan di bidang energi terbarukan.
Kebutuhan biaya di sektor energi cukup jauh dibandingkan dengan sektor lainnya. Misalnya, Sri Mulyani menyebutkan bahwa kebutuhan biaya sektor kehutanan dan penggunaan tanah untuk menurunkan 41 persen emisi karbon atau 700 juta ton ekuivalen CO2 adalah sekitar Rp90 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebutuhan biaya untuk mengurangi emisi karbon dan melakukan transisi energi adalah minimal USD5,7 miliar per tahun.
Dia mengaku bahwa APBN tidak akan cukup untuk mencapai target net zero emission, oleh karena itu investasi dari sektor swasta, baik dari dalam maupun luar negeri akan sangat penting. Hal tersebut membuat pemerintah mengembangkan blended finance agar sektor swasta, filantropi, institusi dapat berpartisipasi dalam pembiayaan energi berkelanjutan di Indonesia.
Sri Mulyani pun membawa pembahasan itu dalam forum G20 agar menarik investor dari berbagai negara. “Salah satu poin dalam Perjanjian Paris itu, negara maju berjanji membayar USD100 miliar per tahun yang digunakan untuk membantu negara-negara berkembang dalam melakukan mitigasi dan adaptasi dampak krisis iklim. Sampai hari ini mereka tidak membayar,” ujar Sri Mulyani.
Menurutnya, transfer teknologi ke negara berkembang sangat penting dalam mendorong percepatan penanganan krisis iklim. Hal tersebut dapat terwujud salah satunya melalui penyaluran dana sesuai Perjanjian Paris.
“Kemenkeu komitmen untuk terus mendukung pemulihan ekonomi akibat pandemi dan pada saat yang sama juga melakukan berbagai kebijakan dan regulasi termasuk instrumen untuk menyampaikan komitmen dari sisi climate change,” pungkas Menkeu. (ATN)
Discussion about this post