ASIATODAY.ID, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Airlangga Hartarto, menggelar pertemuan dengan Executive Vice-President of the European Commission, H.E. Mr. Frans Timmermans di Jakarta (19/10) dalam rangka membahas prioritas dan posisi/kebijakan Indonesia di COP26 Glasgow.
Dalam pertemuan itu, Airlangga mengatakan Indonesia berkomitmen untuk mendorong kerjasama dengan Uni Eropa (UE) dalam memperkuat ambisi penanganan dampak perubahan iklim di Indonesia. Kerja sama global penting dilakukan untuk memastikan aspek ketersediaan dan keterjangkauan dalam pengembangan energi baru dan terbarukan.
Pada pertemuan ini, keduanya membahas peluang kerja sama Uni Eropa – Indonesia di bawah Green Deal.
EU Green Deal menetapkan target pengurangan emisi 55% pada 2030, dan Net Zero pada 2050. Pemerintah indonesia berkomitmen untuk mendukung rencana Uni Eropa di bawah Green Deal.
“Pemerintah Indonesia telah menyiapkan regulasi mekanisme perdagangan karbon di dalam negeri. Indonesia juga telah mengumumkan dan menyampaikan ambisi Net Zero tahun 2060 sesuai submisi Updated NDC dan Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050),” ujar Airlangga, dikutip Kamis (21/10/2021).
Terkait penggunaan teknologi, Menko Airlangga juga menyampaikan Indonesia sudah siap untuk melangkah lebih dari energi baterai.
“Indonesia siap untuk mengembangkan tekonologi hydrogan sebagai bentuk komitmen pengurangan emisi serta adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi global yang konkrit untuk mencapai tujuan ini,” papar Airlangga.
Indonesia menjadi Co-Chair pada COP26 Fact Dialogue bersama Inggris sejak April 2021. Pertemuan COP26 akan membahas isu-isu prioritas seperti penguatan komitmen pengurangan emisi, adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, dan meningkatkan kolaborasi internasional dalam kampanye COP26 terkait transisi energi, aksi iklim berbasis alam, dan transportasi bersih.
Indonesia akan terus berkomitmen untuk melakukan kerja sama global dalam menghadapi masalah perubahan iklim. Pemerintah Indonesia juga akan mulai menerapkan pajak karbon atas emisi karbon pada tahun 2022 seiring dengan disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP).
Airlangga mengatakan, penerapan pajak karbon ini juga merupakan komitmen Indonesia untuk menangani perubahan iklim global.
Pemerintah Indonesia juga menunjukkan keseriusannya dalam penanganan iklim dengan mendorong pembahasan ini di berbagai pertemuan internasional lainnya, termasuk G20.
“Indonesia akan mendorong pembahasan perubahan iklim ini dalam presidensi G20 tahun 2022 di dua working group dengan pembahasan terkait isu perubahan iklim dan energi,” tandas Airlangga.
Ekonomi Hijau
Pemerintah telah menetapkan ekonomi hijau sebagai salah satu strategi utama transformasi ekonomi dalam jangka menengah panjang. Strategi ini juga akan membantu Indonesia dalam mewujudkan target Paris Agreement dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs.
“Terobosan-terobosan baru sangat diperlukan untuk bisa melakukan lompatan dalam mencapai target SDGs ini, terutama dalam masa pandemi,” ujar Airlangga Hartarto, dalam acara INDY Fest 2021 bertema “Net-Zero Emissions”, di Jakarta, Selasa (19/10/2021).
Pemerintah juga telah menetapkan arah kebijakan melalui Pembangunan Rendah Karbon. Hal ini dilakukan melalui penurunan dan intensitas emisi pada bidang prioritas meliputi energi, lahan, limbah, industri, dan kelautan.
Melalui Nationally Determined Contributions (NDC), Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan kemampuan sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2030 dari kondisi business as usual. Penurunan emisi GRK tersebut terutama akan didorong pada sektor Agriculture, Forest, and Land Use (AFOLU) serta energi.
Penerapan Pembangunan Rendah Karbon juga diharapkan dapat terus menekan emisi hingga 34% – 41% di 2045 melalui pengembangan EBT, perlindungan hutan dan lahan gambut, peningkatan produktivitas lahan, dan penanganan limbah terpadu.
“Net-zero emissions adalah target yang ingin digapai Pemerintah di 2060 mendatang dan kami juga telah mencantumkannya dalam penyampaian dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC),” tutur Menko Airlangga.
Penguatan komitmen Indonesia untuk mencapai berbagai target tersebut menjadi sangat krusial menjelang pelaksanaan COP26 di Glasgow Skotlandia. Di sini, peran pembiayaan hijau menjadi sangat krusial.
Pemerintah telah mendorong pengembangan berbagai instrumen pembiayaan hijau, di antaranya melalui Green Sukuk. Green Sukuk edisi 2020 mencapai US$2,5 miliar, sementara permintaan yang diperoleh sebesar 6,7 kali lipatnya atau jauh di atas target pemerintah di tengah kondisi pasar yang volatile ini.
“Beberapa pemanfaatan refinancing Green Sukuk yang telah dilakukan adalah dengan pengembangan dan pembangunan fasilitas dan infrastruktur energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya, mikrohidro dan minihidro. Dengan pembangunan proyek-proyek ini nantinya dapat dihitung berapa besar pengurangan emisi CO2 yang dapat dicapai,” ungkap Menko Airlangga.
Tidak terbatas pada pembiayaan APBN saja, instrumen alternatif seperti blended finance juga telah disiapkan untuk memperkuat skema pembiayaan dengan menampung dana dari swasta serta donor internasional untuk kegiatan pengembangan energi terbarukan dan mitigasi perubahan iklim.
Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) juga telah didirikan oleh Pemerintah pada 2019 untuk membantu meningkatkan kualitas pembiayaan pada program ekonomi hijau.
Di saat yang sama, Pemerintah juga terus meningkatkan kerja sama pembiayaan hijau dengan lembaga internasional. Beberapa program EBT di Indonesia telah terbantu dengan dukungan pembiayaan dari lembaga-lembaga yang berbentuk Development Finance Institution (DFI) dan Export Credit Agency (ECA).
Dari sektor keuangan, penerapan ekonomi hijau telah didorong melalui Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025) yang telah dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Roadmap ini menjadi kerangka acuan bagi lembaga keuangan untuk berperan aktif dan berkontribusi positif dalam proses pembangunan ekonomi hijau sehingga dapat mengakomodir kebutuhan pembiayaan dan investasi di sektor terkait.
Dalam aspek regulasi, saat ini kita sudah mempunyai UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja yang menyempurnakan berbagai UU lintas sektoral. Khusus untuk Lingkungan Hidup dan Kehutanan, UU yang disempurnakan adalah UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
“Tujuan utama regulasi ini adalah menciptakan kemudahan ekosistem berusaha, tanpa mengesampingkan standar, nilai-nilai keselamatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan. Salah satu implementasi UU ini adalah melalui sistem perizinan berbasis risiko (OSS-RBA) yang telah diluncurkan pada tanggal 9 Agustus 2021 lalu,” ucap Airlangga.
Pemerintah juga telah membentuk Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Invesment Authority (INA). Lembaga ini berguna untuk memberikan alternatif investasi terhadap pembangunan ekonomi hijau. INA juga akan berperan dalam mengembangkan peluang investasi di berbagai sektor utama, termasuk infrastruktur digital sehingga dapat mendukung pembangunan secara berkelanjutan.
“Investasi yang dikelola oleh INA diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, mendukung penciptaan lapangan kerja, dan mendorong transisi menuju ekonomi baru yang berbasis digital. Pemerintah akan segera mengalokasikan modal tambahan sebesar Rp 60 triliun untuk mendukung optimalisasi INA bagi perekonomian,” tutup Menko Airlangga. (ATN)
Discussion about this post