ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia tengah berada dalam situasi darurat kejahatan sexual.
Pasalnya, peristiwa kejahatan seksual di negeri itu belakangan ini menjadi kegetiran publik. Pada saat yang sama, relasi yang tidak imbang antara pelaku dan korban juga menggeramkan banyak orang.
“Negara harus berbuat lebih untuk mengatasinya. Seperti tidak ada yang mampu berbuat lebih, dengan barisan korban yang begitu banyak, bahkan ada yang memilih bunuh diri sebelum mendapat keadilan. Sebegitu timpangkah perlakukan hukum di mata para korban sehingga tidak ada keberanian melawan malah memutuskan bunuh diri,” kata Jasra Putra, pimpinan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Minggu (12/12/2021).
Jasra mengungkapkan, contoh paling nyata terjadi di Bandung, Jawa Barat. Para santri bisa bertahun-tahun menjadi korban yang berkepanjangan tanpa terdeteksi oleh regulasi pengawasan, tanpa orang tua korban melapor, bahkan tak tersentuh.
Padahal, eksploitasi seksual dalam rangka pesantren menjadi kedok untuk memajukan usaha pelaku sudah berlangsung lama. Bahkan, ada 8 bayi dan 2 santri hamil akibat perbuatannya.
Oleh karena itu, KPAI menyerukan agar pelaku segera diadili. Artinya, ada proses penting mengungkapkan fakta seperti penyalahgunaan kepercayaan orang tua, penyalahgunaan ketika anak dalam ruang kelas, hingga penyalahgunaan ijin di beberapa hotel dengan membawa anak untuk praktek kejahatan seksual.
Menurut Jasra, pelaku tidak hanya melakukan kejahatan seksual, tapi juga pengembangan pesantren dan memperkaya sendiri.
“Pengembangan dan pembuktian terbalik bisa dilakukan kepolisian, jaksa dan pengadilan sehingga siapa saja yang terlibat bisa dikembangkan,” imbuhnya.
Selain pentingnya dorongan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) agar segera disahkan, KPAI mengingatkan bahwa beragamnya bentuk pola pengasuhan belum semuanya diakomodir dalam regulasi saat ini.
Oleh karena itu, perlu payung regulasi pengasuhan setingkat UU agar kejahatan serupa bisa diminimalisir dan negara bisa berbuat lebih dalam rangka memberi dampak sistemik perlindungan anak dalam dunia pengasuhan.
“Jadi tindakan mengecam dan menghukum berat harus berlanjut pada upaya upaya yang sistemik dalam melindungi anak anak yang terlepas pengasuhan, berpindah pengasuhan dari kejahatan seksual,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menegaskan, pondok pesantren (ponpes) harus bebas dari kejahatan seksual.
“Meningkatnya kasus kejahatan seksual di lingkungan pondok pesantren (ponpes) yang dilakukan oknum guru pesantren menunjukkan bahwa ponpes saat ini tidak lagi nyaman bagi anak santri dan santriwati. Proses belajar dan mengajar di lingkungan pesantren tidak lagi mencerminkan bebas dari kekerasan baik kekerasan seksual, fisik, nonfisik dan pelanggaran hak anak dalam bentuk lainnya,” kata Arist.
Menurut Arist, ada banyak fakta bahwa guru di lingkungan pesantren tidak menjadi panutan bagi santri dan santriwatinya.
“Kasus kejahatan seksual seperti yang terjadi di Lampung, Jombang, Sidoarjo, Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Pemalang, Lebak, Garut dan yang terakhir terjadi di Bandung. Oknum guru pesantren di Bandung tersebut dilaporkan diduga melakukan serangan persetubuhan terhadap 21 santriwatinya sampai ada yang hamil dan melahirkan, kasus ini tidak tersembunyikan lagi. Demikian juga yang terjadi di Cilacap, dan di Tasikmalaya. Artinya kejahatan seksual terhadap anak dalam lingkungan pesantren yang banyak terjadi perlu diperiksa dan dievaluasi,” papar Arist.
Arist Merdeka menerangkan, kasus oknum guru pesantren melakukan kejahatan seksual terhadap anak di berbagai lingkungan satuan pendidikan marak, di lingkungan pesantren, khususnya, di Bandung dan Cilacap.
“Sudah saatnya menteri agama mengevaluasi ponpes dalam melaksanakan proses belajar dan mengajar agar lingkungan ponpes bebas dari segala bentuk kekerasan,” imbuh Arist.
Atas maraknya serangan persetubuhan terhadap anak dalam lingkungan sosial manapun, dengan cara bujuk rayu, tipu muslihat, janji-janji dan intimidasi, Arist mendesak aparatus hukum polisi, jaksa dan hakim menempatkan kasus kejahatan seksual merupakan tindak pidana kejahatan luar biasa.
“Dengan demikian, demi kepentingan terbaik anak, setiap peristiwa kejahatan seksual terhadap anak di lingkungan manapun menjerat pelaku dengan UU 17/2016 tentang Penerapan Perppu 1/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman pidana seumur hidup,” tegasnya.
Dengan maraknya kasus kejahatan seksual dan kekerasan terhadap anak di lingkungan Ponpes, khususnya yang terjadi di Bandung, Cilacap, Tasikmalaya dan di Garut, Arist menambahkan, Komnas PA dan Komnas Anak Jawa Barat bersama stakeholders perlindungan anak dan P2ATP2A membentuk tim litigasi dan rehabilitasi sosial anak guna memberikan layanan pendampingan hukum dan psikososial terapi. (ATN)
Discussion about this post