ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia hingga saat ini sebagian besar masih berasal dari energi fosil. Energi fosil yang semakin terkikis akan memicu terjadinya krisis energi.
Penggalian sumber energi alternatif yang bersih, ramah lingkungan, dan berkelanjutan perlu dilakukan. Salah satunya yang berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT).
Dwi Susilaningsih peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam orasi pengukuhan profesor riset berjudul “Energi Generasi Tiga Berbasis Mikrob Fotosintetik dan Mikroalga Mendukung Solusi Krisis Energi Ramah Lingkungan” memaparkan bioenergi adalah salah satu bentuk EBT yang berasal dari material hayati, baik hewan, tumbuhan maupun mikroorganisme yang mempunyai bentuk padat, gas, dan cair.
Dikatakan, biofuel generasi pertama yang paling populer adalah biodiesel, minyak nabati, biogas, bioalkohol, dan syngas. Biofuel generasi kedua meliputi biomassa lignoselulosa atau tanaman. Sedangkan untuk biofuel generasi tiga banyak menggunakan material mikroorganisme (mikrob fotosintetik dan mikroalga).
Penelitian biofuel generasi ketiga oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI dilakukan mulai dari koleksi mikrob fotosintetik dan mikroalga, bioprospeksi untuk bioenergi, dan rekayasa prosesnya.
“Selanjutnya, berkembang opini biofuel generasi keempat yang menekankan pada terobosan teknologi baru, penggunaan lahan tidur dan lahan marginal,” ungkap Profesor Riset bidang Bioproses tersebut, dikutip dari laman LIPI, Jumat (2/10/2020).
Biofuel, Energi Generasi Tiga sebagai Energi Masa Depan
Biofuel berbasis mikrob fotosintetik dan mikroalga digolongkan menjadi biofuel generasi tiga sebagai solusi krisis energi untuk penyediaan biofuel yang tidak bersaing dengan pangan dan pakan.
Sistemnya diharapkan dapat diaplikasikan di segala area dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan ramah lingkungan.
“Hasil penelitian biofuel generasi ketiga, produksi gas hidrogen dari mikrob fotosintetik dan mikroalga dengan fotofermentasi fakultatif anaerob menghasilkan rendeman gas hidrogen, antara 6 sampai 12 persen per berat kering biomassa atau substrat yang digunakan,” jelas Dwi.
Saat ini penelitian masih terus dilakukan. Perlu kerja sama dengan para pemangku kepentingan untuk aplikasi riset di lapangan, sehingga hasil di laboratorium dapat divalidasi. Hasil penelitian bio oil atau minyak dan bioavtur dari mikroalga didapatkan dari empat jenis mikroalga terseleksi yaitu chlorella, coelastrella, ankistrodesmus, dan nannochlorpsis.
“Jenis mikroalga ini mempunyai kandungan minyak lebih dari 30 persen per berat kering biomassanya. Produksi minyak terbukti belum ekonomis, masih mahal, dengan harga di atas 22 ribu rupiah per liter minyak mentah sehingga perlu dioptimasi lebih baik lagi,” jelas Dwi.
Tak hanya itu, Dwi juga menekankan selain teknologi yang harus dikembangkan, pemangku kepentingan juga perlu membantu aplikasi riset dengan pendanaan yang cukup, sehingga di hasil riset di laboratorium dapat divalidasi dan layak secara komersial.
“Selain itu, sistemnya diharapkan dapat diaplikasikan di segala area dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan ramah lingkungan,” jelasnya.
Dwi berharap para penggiat penelitian biofuel generasi tiga dan empat dapat ditingkatkan. Penelitian ke arah aplikasi industri dan komersial perlu dilakukan dengan memperhatikan permintaan industri dan pasar, seperti standar kualitas, kuantitas, dan ekonominya.
Perbanyakan strain unggul mikroalga lokal yang dapat ditumbuhkan di berbagai area perlu disebarkan agar memacu peningkatan animo publik untuk menerapkan aplikasi teknologi biofuel berbasis generasi tiga.
“Di masa depan, juga diperlukan frontier research ke arah energi ekonomi, mudah diangkut, dan diversifikasinya,” tutupnya. (ATN)
Discussion about this post