ASIATODAY.ID, JAKARTA – Negara-negara EFTA telah menandatangani perjanjian ekonomi komprehensif Indonesia-EFTA CEPA.
Hal tersebut menjadi peluang positif, utamanya dalam kaitannya dengan penerimaan produk kelapa sawit Indonesia. Sebab, selama ini kelapa sawit Indonesia telah diperlakukan berbeda dengan produk minyak nabati lainnya di Kawasan Uni Eropa.
Menurut Wakil Menteri Perdagangan RI, Jerry Sambuaga, penerimaan EFTA terhadap produk kelapa sawit Indonesia menunjukkan resistensi sebenarnya tidak dilakukan oleh semua negara Eropa.
Bahkan di Uni Eropa hanya beberapa negara saja yang kebetulan punya pengaruh di parlemen yang menghambat perdagangan kelapa sawit Indonesia di kawasan itu.
“Empat negara tersebut, yaitu Lietchtenstein, Swiss, Norwegia dan Islandia menambah deretan negara-negara Eropa yang sebenarnya menerima kelapa sawit Indonesia. Kalau kita bertemu dengan pemerintah maupun parlemen di banyak negara Eropa sebenarnya memang menunjukkan sambutan yang positif,” kata Jerry dikutip dari siaran pers, Minggu (9/5/2021).
Melihat kecenderungan itu, Jerry optimis dengan arah perjuangan Indonesia untuk menghapus diksriminasi sawit ini.
Pada intinya, negara-negara Uni Eropa harus melihat persoalan sawit dengan obyektif dan proporsional. Kebutuhan minyak nabati semakin besar di seluruh dunia. Tidak semua sumber minyak nabati bisa memenuhi kebutuhan dengan efisien seperti kelapa sawit.
“Dilihat secara relative dan obyektif. Kalau kita menanam sumber minyak nabati lain seperti rapeseed, sebenarnya kebutuhan lahan dan dampak ekologisnya 6 kali lebih besar dari kelapa sawit. Jadi secara ekologis dan ekonomi tidak efisien. Justru kelapa sawit menjadi solusi yang tepat untuk itu,” jelasnya.
Jerry juga menilai, teknologi perkebunan, pemupukan, pengolahan air, pengolahan dan berbagai hal yang berkaitan dengan industri kelapa sawit terus berkembang. Ini membuat kelapa sawit akan makin efisien secara ekologis. Selain itu standarisasi produksi dan lingkungan kelapa sawit juga semakin ketat.
“Jadi sebenarnya produk kelapa sawit kita itu sudah melewati berbagai standarisasi dan penjaminan mutu produk serta dampaknya dalam berbagai sisi. Banyak sertifikasi yang harus dipenuhi dan itu tidak mudah karena melibatkan berbagai Lembaga yang kompeten,” tuturnya.
Untuk itu ia berharap parlemen dan eksekutif Uni Eropa melihat dengan kerangka yang lebih luas, bukan hanya dalam perspektif persaingan dagang. Ia berharap kelapa sawit justru memicu inovasi baru untuk menghasilkan minyak nabati yang makin baik dan murah.
Indonesia saat ini sedang bersiap menghadapi sidang-sidang mengenai diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa di WTO. Sidang kasus berkode DS 593 tersebut dihadapi optimis oleh Pemerintah Indonesia khususnya Kemendag. (ATN)
Discussion about this post