ASIATODAY.ID, JAKARTA – Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI) bekerja sama dengan Kementerian PPN/Bappenas, The Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) Indonesia dan Life Cycle Indonesia (LCI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) Nasional dengan tema “Percepatan Pengurangan Susut dan Sisa Pangan di Indonesia”.
FGD kali ini lebih fokus pada penanganan di hulu yaitu mencegah terjadinya susut pangan di sektor produksi, pengolahan/pascapanen dan pengemasan serta distribusi.
“Focus Group Discussion ini merupakan salah satu upaya kolaboratif antara pemerintah, Industri dan masyarakat untuk merumuskan peta jalan yang konstruktif dan aplikatif untuk menurunkan susut dan sisa pangan sebesar 75% pada tahun 2045,” ujar Soen’an Hadi Poernomo, Ketua Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI) di Jakarta, Senin (02/10/2023).
Dalam upaya menyusun peta jalan reduksi susut dan sisa pangan untuk mencapai kemandirian pangan yang berkelanjutan, Indonesia telah berkomitmen untuk mengatasi masalah serius dalam bidang pangan, salah satunya adalah menekan terjadinya susut dan sisa pangan (food loss and waste).
“Kita akan melakukan kolaborasi dan serius menangani hal ini, dan terus akan mengusahakan regulasi sehingga kalau ada pengusaha atau organisasi yang aktif membantu harus diberi insentif seperti pengurangan pajak,” imbuhnya.
Berdasarkan data The Economist (2021), Indonesia menempati posisi ketujuh sebagai negara penghasil SSP terbesar di dunia. Hasil kajian Bappenas 2021 menyebutkan bahwa nilai susut pangan (food loss) selama 20 tahun terakhir (2010-2019) sebesar 56%, sedangkan nilai sisa pangan (food waste) sebesar 44%. Masih dari hasil kajian yang sama, total timbulan susut dan sisa pangan Indonesia per tahun sebesar 23-48 juta ton atau setara dengan 115–184 kg/kapita/tahun.
Lanjut Soen’an, susut pangan (food loss) merupakan makanan yang mengalami penurunan kualitas ataupun hilang yang disebabkan oleh berbagai faktor selama prosesnya dalam rantai pasokan makanan sebelum menjadi produk akhir.
Susut pangan biasanya terjadi pada tahap produksi, pasca panen, pemrosesan, hingga distribusi dalam rantai pasokan makanan.
“Sisa pangan (food waste) adalah makanan yang telah melewati rantai pasokan makanan hingga menjadi produk akhir, berkualitas baik, dan layak dikonsumsi, tetapi tetap tidak dikonsumsi dan dibuang. Makanan yang dibuang ini termasuk yang masih layak ataupun dibuang karena sudah rusak. Sisa pangan biasanya terjadi pada tingkat ritel dan konsumen”, ungkap Soen’an.
Vivi Yulaswati, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian PPN/Bappenas RI yang turut hadir, menyajikan materi dengan topik “Reduksi Susut Pangan Mendukung Ketahanan Pangan Indonesia Emas mengatakan, dengan perkiraan jumlah penduduk sekitar 324 juta jiwa pada tahun 2045, tekanan terhadap penyediaan pangan domestik pada saat itu akan semakin meningat.
Oleh karena itu efisiensi penyelenggaraan sistem pangan, sejak pangan diproduksi, penanganan pasca panen, distribusi hingga konsumsi sangatlah penting.
“Karenanya, dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan pewujudan kemandirian pangan nasional, selain melalui peningkatkan produksi pangan kita juga harus berupaya semaksimal mungkin menekan kehilangan pangan dalam bentuk susut dan sisa pangan,” kata Vivi dalam sambutannya.
Selama FGD ini, berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan dari pemerintah, akademisi, lembaga riset, dunia usaha, organisasi masyarakat sipil, telah berdiskusi intensif untuk mengembangkan rencana aksi konkret dalam mengurangi susut pangan di Indonesia. FGD ini menciptakan platform bagi kolaborasi dan pertukaran ide yang akan membantu memandu langkah-langkah implementasi yang lebih efektif.
Salah satu poin utama yang dibahas dalam FGD adalah pengembangan strategi nasional dalam peta jalan reduksi susut dan sisa pangan di seluruh rantai pasok pangan, mulai dari produksi hingga konsumsi.
Selain itu juga pembahasan indikator susut dan sisa pangan yang akan dijadikan sebagai acuan penilaian di Indonesia.
“Susut dan limbah sisa pangan menjadi suatu urgensi bagi kita semua, tentunya ini terkait dengan transformasi yang kita siapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang 2025-2045,” papar Vivi Yulaswati.
Dalam dokumen tersebut, tentunya banyak sekali pilar-pilar transformasi yang disiapkan baik dalam konteks sosial, ekonomi, tata kelola kemudian juga supermasi hukum, stabilitas, pertahanan diplomasi, ketahanan sosial, budaya dan juga ekologi serta tentunya berbagai rangka implementasi transformasi tersebut dalam konteks pembangunan kewilayahan, sarana prasarana dan juga dalam rangka kesinambungan pembangunan.
“Berbicara mengenai susut pangan ini, sangat terkait dengan transformasi ekonomi dan juga membangun ketahanan sosial budaya dan ekologi. Jadi didalam transformasi ekonomi itu beberapa agenda nasional termasuk penerapan ekonomi hijau,”
“Jadi konteks workframe untuk berpikir bagaimana Indonesia dapat membangun 20 tahun kedepan yang saat ini sedang disiapkan untuk lima tahunannya.
“Tahapannya sudah ada secara umum itu kita ingin mengadakan pondasi yang kuat lima tahun 2025 atau 2030 yang sejalan dengan SDGs dan di lima tahun berikutnya kita bangun kompetitas dan tentunya pada gilirannya tahun 2045 kita bisa sama-sama masuk sebagai negara maju,” imbuhnya.
Laporan: Silvia Andriani
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post