ASIATODAY.ID, JAKARTA – Konflik separatisme, kekerasan komunal, maupun konflik laten merupakan fenomena yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara.
Separatisme di kawasan ini merupakan bagian dari sejarah integrasi nasional di Indonesia, Philipina, dan Thailand yang telah berakhir dengan perjanjian damai.
“Namun, konflik separatisme bersenjata masih berlanjut di Papua, Indonesia dan Pattani, Thailand yang berhimpitan dengan pembelahan identitas kultural,” ungkap Cahyo Pamungkas dari Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI dikutip dari laman LIPI, Jumat (2/10/2020).
Cahyo menjelaskan, setelah tahun 2006 konflik komunal di Indonesia bergeser menjadi persekusi terhadap kelompok minoritas keagamaan.
“Sifat dasar konflik juga berubah dari kekerasan menjadi konflik laten ditandai dengan intoleransi dan radikalisme,” jelas Cahyo.
Dirinya mencontohkan, intoleransi juga merambah ke media sosial melalui ujaran kebencian dan berita bohong.
Cahyo menekankan dalam satu dekade ke depan Indonesia akan menghadapi dua persoalan terbesar, yakni intoleransi keagamaan dan konflik separatisme Papua.
“Oleh karena itu, kita dapat belajar dari dinamika konflik pada masa lalu ataupun strategi penyelesaian konflik di negara lain,” jelasnya.
Dirinya menerangkan, dari hasil refleksi pengalamannya selama 16 tahun terakhir melakukan kajian konflik vertikal dan horizontal di Asia Tenggara. konflik komunal, laten, dan separatisme masih kerap muncul di kawasan Asia Tenggara meskipun berbagai kajian konflik dan perdamaian telah dilakukan.
Cahyo menguraikan dinamika konflik horisontal memberikan pelajaran bahwa perasaan terancam dan religiosentrisme merupakan temuan penting.
“Keduanya merupakan bagian dari ekosistem yang menggerakkan identitas agama atau etnis untuk berperan dalam sikap intoleran, diskriminatif, dan tindak kekerasan terhadap kelompok lain,” kata Cahyo.
Oleh karena itu, strategi transformasi konflik dapat dilakukan dengan mengatasi deprivasi dan memperluas batas-batas sosial bersama yang memungkinkan terjadinya dialog dan rekonsiliasi.
“Pendekatan yang memandang bahwa identitas etnis dan agama merupakan sumber utama dari intoleransi, radikalisme dan konflik sosial perlu direkonstruksi kembali,” tutup Cahyo. (ATN)
Discussion about this post